SOLOPOS.COM - Salah satu biksu di Myanmar (IST-Asia Calling)

Salah satu biksu di Myanmar (IST-Asia Calling)

Butuh dua jam perjalanan dari pusat kota Rangoon untuk sampai di distrik Hmaw-bi. Setelah diusir dari Biara Sadu Pariyatti Desember 2011 lalu, biksu Buddha Ashin Pyinnyar Thiha tinggal di desa ini. Ia tinggal di rumah bambu kecil yang terbuka, di satu sawah yang kering.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

Sebelumnya, pada September 2011 lalu, Menteri Dalam Negeri Myanmar melarang biksu Ashin Pyinnyar Thiha menyampaikan ajaran Buddha di depan umum. Pasalnya, dia membuat pemerintah berang lantaran mengizinkan penggunaan biaranya untuk upacara penyambutan kembali 40 biksu yang dibebaskan dari penjara dalam program amnesti pemerintah.

Dia juga menjadi satu-satunya biksu yang bertemu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton saat berkunjungan ke Myanmar. Ashin Pyinnyar Thiha dianggap sebagai tokoh agama yang berpolitik.

“Saya berpolitik demi kepentingan bangsa. Saya tidak akan pernah diam saja atas segala ketidakadilan yang terjadi. Saya tidak pernah melakukan hal ini demi diri saya sendiri. Sekarang saya tinggal di rumah bambu, tapi saya tidak pernah menyesali perbuatan saya. Rakyat sengsara. Saya hanya mengikuti apa yang dilakukan Buddha, berkorban untuk orang lain. Kalau saya merasa saya benar, saya tidak akan takut untuk mengungkapkan pemikiran saya. Saya tidak mengenal rasa takut,” tegas Ashin Pyinnyar.

Dewan Sangha adalah organisasi para biksu yang dituding berpihak pada pemerintah. Baru-baru ini Dewan ini memperpanjang larangan bicara untuk biksu ini setahun lagi. Setelah menyampaikan pidato di kantor Liga Nasional untuk Demokrasi NLD, biksu Ashin diusir dari biaranya.

Biksu Ashin menjelaskan, “itu pidato yang biasa saja, bukan satu khotbah. Saya hanya membicarakan hal-hal sederhana, seperti anak muda harus tetap bersatu. Seperti pohon bambu, mereka tidak boleh berdiri sendiri; mereka harus bertumbuh sebagai kelompok, mereka bertahan dan bertumbuh dalam satu kelompok. Badai yang kuat sekalipun tidak bisa menghancurkan mereka. Itulah persatuan. Anak-anak muda juga harus menggunakan mata dan telinga mereka supaya bisa mengembangkan dirinya dan menajga supaya tidak ada kediktaktoran di masa mendatang.”

Belakangan ini Myanmar jadi sorotan dunia internasional. Setelah kemenangan telak Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi dalam pemilu sela bulan April lalu dan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi akhirnya meraih kursi dalam parlemen – Myanmar digadang sebagai negara demokrasi terbaru di Asia.

Namun pemerintah masih terus membatasi kebebasan publik dan kegiatan politik para biksu Buddha Myanmar.

Setelah Revolusi Saffron tahun 2007, para biksu harus mendapatkan izin pemerintah untuk berkhotbah di depan publik – termasuk meminta izin untuk isi khotbah itu sendiri.

Biksu Ashin Pyinnyar Thiha bukan satu-satunya biksu yang dibatasi kegiatannya. Abbot Thu Mingala, dari Biara Mingala, juga dilarang berkhotbah di depan masyarakat pada Desember lalu. Tak hanya itu, sejumlah kelompok hak asasi manusia lokal melaporkan, hampir seribu tahanan politik termasuk di antaranya para biksu masih dikurung di penjara Myanmar.

“Dalam agama Budha, sesesorang harus mengatakan apa yang salah dan apa yang benar. Sebagai seorang biksu, orang-orang menyumbangkan makanan, tempat tinggal dan jubah. Semuanya diberikan oleh masyarakat.” Tutur Ashin Prinnyar.

“Ketika warga menderita, para biksu harus berani membela mereka. Ini adalah tanggung jawab para biksu. Contohnya, ketika terjadi Badai Nargis yang memporak-porandakan negara ini, para biksu tidak hanya berdoa di depan patung Budha, tapi harus memberikan mereka air kalau haus. Kita harus menunjukkan kebaikan kita secara langsung. Saya senang sekali mengajarkan prinsip ini kepada murid-murid saya.” Biksu Ashin melanjutkan.

Ashin Pyinnyar Thiha memang sudah tak berada di kota besar lagi. Tapi ini tak berarti dia tak diawasi lagi.

Ancaman kurungan penjara tak membuat biksu Ashin gentar. “Saya masih diawasi polisi, tapi mereka tidak mengganggu saya sekarang. Waktu mereka tanyakan saya soal biara, saya memberi tahu biara yang baru, dan mengatakan saya masih akan membangun usaha saya. Saya tidak takut dengan penjara.”

Biksu Ashin tak sendiri. Banyak yang mau membantunya. Di antaranya dengan membangun gedung dari bata berlantai satu yang saat ini tengah dibangun. Ko Lin Zaw Htun, penanggung jawab pembangunan, mengatakan “Bangunan pertama ini dirancang untuk Ashin Pyinnyar Thiha supaya dia bisa punya tempat berlindung yang baru.”

Ia berencana membangun biara yang lebih besar untuk menampung ratusan muridnya dari Rangoon. Dananya datang dari sumbangan para pengikut dan murid Ashin Pyinnyar Thiha.

Ashin Eain Daka, 25, pelajar tingkat dua di biara ini, bertekad akan terus mengikuti ke mana pun sang guru pergi.

“Salah satu ajaran Ashin Pyinnyar Thiha yang paling saya suka adalah kalau Anda seorang biksu, Anda harus berjalan untuk semua orang. Dia masih di bawah pengawasan, dan kami juga, murid-muridnya. Saya tidak perduli dengan pihak yang berwajib. Mereka melakukan tugasnya dan kami juga melakukan tugas kami,” ujar Ashin Deka.

Sambil duduk di kursinya dan mengunyah daun sirih, biksu Ashin Pyinnyar berbagi gagasannya soal membangun bangsa dengan murid-muridnya.

“Pemerintah harus melonggarkan larangan itu dan bekerjasama dengan Aung San Suu Kyi, partainya dan para anggota NLD. Rakyat kami semakin hari tambah miskin, dan keadaan ekonomi kami terus memburuk. Kami sangat membutuhkan reformasi. Demokasi adalah satu-satunya cara untuk membuka dan membangun masyarakat. Tapi mereka harus sabar. Negeri ini sedang berjalan menuju sisi yang baik.”

Di dinding rumah bambu tempat tinggal biksu Ashin, ada satu poster raksasa ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi.

“Dia punya banyak sifat yang sangat patut dipuji. Dia adalah harapan semua orang di Myanmar. Anda bisa lihat kejujuran di matanya. Dia tidak akan pernah melakukan apapun demi kepentingan pribadinya, persis seperti ayahnya. Sekarang usianya sudah 67 tahun dan umur saya 47 tahun. Tapi saya masih merasa dia seperti ibu saya sendiri. Dia sangat memesona.”

Ashin Pyinnyar Thiha masih dilarang berpidato di hadapan umum. Tapi ia berharap bisa memperoleh kebebasannya kembali setelah Dewan Sangha direformasi.



“Para biksu yang sudah tua di dewan itu tidak punya kapasitas untuk memerintah semua biksu di Myanmar. Mereka harus pensiun, dan harus digantikan dengan para biksu muda dengan pemikiran yang lebih segar. Dewan ini harus bebas dari pengaruh pemerintah, supaya bisa menjadi badan yang independen.”

Biara Sadu Pariyatti bekas tempat biksu Ashin yang bertingkat tiga di Rangoon kini telantar. Seperti yang dikatakan Ashin Thuriya, 37, ada banyak biksu muda yang siap ikut Ashin Pyinnyar Thiha di biaranya yang baru.

“Dia pintar sekali menyampaikan pelajaran, ia adalah guru yang hebat. Dia juga berani sekali berbicara soal kebenaran dan melawan apapun yang menindasnya,” yakin Ashin Turiya.

Citra Dyah Prastuti
Asia Calling/Rangoon, Myanmar

Artikel ini dimuat atas kerja sama Harian Jogja dengan Asia Calling dan KBR68H. Artikel ini pernah dimuat di situs asiacalling.org/en/about-us/asia-calling-a-kbr68h.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya