SOLOPOS.COM - Perahu melintas di perairan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. (Wahyu Darmawan/JIBI/Bisnis)

Kewajiban pakai rupiah tidak diikuti penyeragaman patokan kurs rupiah di jasa pelayaran.

Solopos.com, SEMARANG — Para pengusaha yang terkait jasa pengiriman barang di Jawa Tengah mengeluhkan tidak adanya keseragaman patokan nilai tukar (kurs) rupiah dari penyedia jasa pelayaran. Hal itu terjadi setelah diberlakukannya kebijakan penggunaan mata uang nasional untuk transaksi di wilayah Indonesia.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Forwarder Indonesia (ALFI) Jateng bahkan berencana melaporkan penyedia jasa pelayaran karena mematok kurs rupiah tidak wajar.

Ketua ALFI Jateng Ari Wibowo mengatakan peraturan Bank Indonesia terkait kewajiban penggunan rupiah pada transaksi yang diberlakukan pada 1 juli ternyata belum berjalan sesuai harapan. Pasalnya, kurs rupiah yang diterapkan para penyedia jasa pelayaran jauh melebihi kurs tengah Bank Indonesia.

Ari menuturkan sejumlah penyedia jasa pelayaran memberikan nilai tukar rupiah secara liar, bahkan hingga Rp15.000 per US$1. “Patokan kurs ini semaunya sendiri. Ada yang mematok di atas Rp14.000/dolar AS, ada yang bakan Rp15.000/dolar AS,” ungkapnya kepada Bisnis/JIBI, Rabu (8/7/2015).

Tidak seragamnya patokan kurs, jelas Ari, sangat meresahkan penyedia jasa forwarding karena akan merugikan pelaku usaha. Terkait kondisi itu, lanjutnya, ALFI juga menyesalkan sikap asosiasi pengusaha pelayaran, Indonesia National Shipowners Association atau INSA, yang tidak bisa mengakomodasi para pelaku jasa pelayaran.

Karena itu, Ari mengatakan pihaknya telah bersepakat untuk melaporkan kondisi tersebut kepada otoritas terkait. Selain itu, ungkapnya, pihaknya juga akan melaporkan para pelaku jasa pelayaran yang mematok nilai tukar secara bebas.

Bahkan, dia menegaskan tidak akan ragu untuk melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib karena penetapan nilai tukar dapat dianggap sebagai tindakan pemerasan. Padahal, jelasnya, penggunaan mata uang rupiah diamanatkan undang-undang.

“Ini sangat meresahkan pengusaha. Karena itu, kami akan kita somasi INSA, adukan kepada Bank Indonesia, Ombudsman dan kalau tidak ada tindakan kami akan laporkan ke Kepolisian dengan delik aduan,” tegasnya.

Seperti diketahui, sejak awal Juli lalu, PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) yang mengoperasikan Pelabuhan Tanjung Emas, Pelabuhan Tanjung Intan dan Terminal Peti Kemas Semarang telah mewajibkan transaksi pelayanan jasa kepelabuhanan luar negeri dengan menggunakan mata uang rupiah.

Kebijakan pakai rupiah tersebut merupakan tindak lanjut atas dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2015.

Adapun, dalam pelaksanaa kebijakan tersebut Pelindo III mewajibkan nota pelayanan jasa kepelabuhanan luar negeri dalam mata uang rupiah. Dasar perhitungan kurs rupiah untuk jasa kepelabuhanan menggunakan tarif eksisting dikaitkan dengan kurs saat kegiatan selesai dilaksanakan

Sementara itu, Badan Pengurus Daerah Gabungan Importir seluruh Indonesia (Ginsi) Jateng juga mengaku patokan nilai tukar rupiah yang tidak seragam, khususnya oleh penyedia jasa pelayaran, merugikan para importir.

“Penggunaan rupiah justru membuat importir mengeluh dengan patokan kurs yang terlalu mencekik. Tidak seragam antara pelayaran satu dan yang lain,” ungkap Ketua BPD Ginsi Budiatmoko kepada Bisnis.

Menurutnya, sejumlah penyedia jasa pelayaran bahkan menerapkan patokan kurs yang ekstrem atau jauh dari patokan nilai kurs tengah Bank Indonesia. Kondisi tersebut, ujar Budiatmoko, membuat pihaknya merugi dengan penambahan biaya inefisiensi dalam kinerja usaha.

Karena itu, sambung Budiatmoko, Ginsi Jateng berencana melayangkan surat keberatan kepada badan pengurus pusat terkait pemberlakuan PBI tersebut. “Kami akan mengirim surat kepada BPP Ginsi untuk diteruskan kepada pihak Bank Indonesia, Kementerian Perhubungan,” ungkapnya.

Terpisah, Ketua DPD Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jateng Eddy Raharto menuturkan sejauh ini para eksportir sudah terbiasa dengan penggunaan rupiah dalam transaksi. Hal ini terutama sejak kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor diterapkan.

Kendati begitu, dia menilai perbedaan penetapan kurs memang masih menjadi kendala bagi pelaku usaha pengiriman barang. Karena itu, jelasnya, perlu diberlakukan sinkronisasi nilai tukar antara penyedia jasa.

“Ketentuan sudah berjalan baik, tetapi masih perlu adanya sinkronisasi nilai tukar antar penyedia jasa yang sebelumnya memungut jasa dalam USD ke IDR,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya