SOLOPOS.COM - Ilustrasi buruh linting rokok (JIBI/Solopos/Dok.)

Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos

Solopos.com, SOLO — Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FS PRTMM) Soloraya menolak rencana pemerintah menaikkan pajak rokok menjadi 10% per April 2015 mendatang. Kenaikan pajak yang disertai penyetaraan itu dipastikan bakal memicu kenaikan harga rokok dan berisiko pada kelanjutan roda produksi industri rokok.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

FS PRTMM menilai penyetaraan pajak rokok untuk semua skala tersebut bakal mematikan industri rokok skala kecil menengah. Di kawasan Soloraya, ada sekitar 5.000 buruh yang menggantungkan hidup mereka pada industri rokok dan bakal menghadapi risiko kenaikan harga rokok yang disertai penyataraan harga itu.

Ketua FS PRTMM Soloraya, Ahmad Yasir, mengatakan kenaikan pajak tersebut seharusnya hanya dikenakan kepada industri skala menengah ke atas. Hal itu karena industri besar sudah memiliki modal dan pasar yang besar. Mereka juga sudah memaksimalkan penggunaan sigaret kretek mesin (SKM).

Sedangkan, industri rokok skala kecil masih mengandalkan 100% tenaga manusia atau sigaret kretek tangan (SKT). Menurutnya, pemerintah seharusnya melindungi industri yang masih memberdayakan manusia ini.

“Kami memang setuju jika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan pajak dari industri tembakau, tapi sebaiknya ke industri besar khususnya SKM yang padat modal. Industri rokok manual [kecil menengah] ini adalah padat karya dan perlu mendapatkan perlindungan,” tegasnya saat ditemui Solopos.com di PT Djitoe Indonesian Tobacco Coy Solo, Solo, Senin (16/3/2015).

Dia memperkirakan kenaikan pajak menjadi 10% tersebut berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Bahkan, dengan kenaikan pajak yang diterapkan mulai 1 Januari lalu sudah begitu terasa, membuat industri rokok skala kecil menengah kelimpungan.

“Jika terus dinaikkan, daya beli masyarakat akan mengalami penurunan luar biasa. Bahkan sampai Maret ini telah terjadi penurunan hingga 30 persen,” tandasnya.

Dia juga khawatir kenaikan pajak yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat bakal berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Padahal, di kawasan Soloraya ada sekitar 5.000 buruh yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok.

“Jika benar pajak naik, saya yakin industri rokok akan mengalami kelesuan yang luar biasa. Harapannya memang kenaikan pajak itu diterapkan ke industri menengah ke atas, yang ekonominya sudah mapan. Kami yang kecil menengah ini segmentasinya siapa ta? hanya petani dan [masyarakat] perdesaan,” imbuhnya.

Ahmad meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut. Dia tidak ingin ribuan buruh industri rokok dan keluarga mereka menjadi korban akibat kebijakan pemerintah. “Sebaiknya ditinjau ulang lagi, jangan sampai kenaikan itu berdampak pada pekerja. Mereka juga punya anak yang harus sekolah dan dibiayai,” paparnya.

Sementara, salah satu buruh industri rokok, Ngatini, meminta pemerintah lebih cermat dalam mengambil kebijakan. Ibu yang sudah bekerja sebagai buruh selama 30 tahun tersebut tidak ingin kehilangan mata pencahariannya. “Kami sebagai rakyat kecil hanya bisa manut. Tapi kasihan teman-teman juga kan kalau nanti kena PHK karena kebijakan pajak yang naik itu,” katanya.

 

BACA JUGA:
Cukai Naik 27%, Buruh Rokok Terancam PHK
April 2015, Harga Rokok Rp20.000

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya