SOLOPOS.COM - Presiden SBY (Dok/JIBI)

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Minggu (5/1/2014) sore mengungkap kenaikan harga elpiji 12 kg didorong hasil audit BPK. Berdasarkan audit tersebut BPK menemukan kerugian sebesar Rp7,7 triliun di Pertamina dalam bisnis elpiji 12 kg.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto, dalam siaran persnya kepada Detik, Senin (6/1/2014), mengatakan Pertamina melalui RUPS berupaya menutup kerugian dengan cara menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar 68 persen. Tindakan Pertamina ini diduga karena kekhawatiran para manajemen untuk dibawa ke ranah pidana oleh aparat penegak hukum.

Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group

Mengapa demikian? Ini karena masalah klasik bahwa uang BUMN, dalam hal ini Pertamina, adalah uang negara. Menurut Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara, keuangan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Dengan demikian kerugian Rp7,7 triliun yang diindikasikan oleh BPK di Pertamina dapat dianggap sebagai kerugian negara.

Menurut Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi, disebutkan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara” dapat dipidana. Dalam rumusan pasal tersebut dirujuk istilah Keuangan Negara yang dalam penjelasan umum dari UU Tipikor disebutkan “keuangan negara yang dimakasud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan”.

Oleh karenanya tidak heran bila temuan kerugian oleh BPK disikapi oleh manajemen Pertamina untuk menutup kerugian tersebut melalui kenaikan harga. Padahal kerugian yang diderita oleh Pertamina bisa jadi bukan karena tindakan koruptif, melainkan tindakan inefisiensi karena memulai suatu bisnis baru atau keputusan bisnis (business judgement).

Dalam dunia bisnis bisa saja untuk memulai suatu kegiatan bisnis diawal akan menderita kerugian. Namun dengan berjalannya bisnis tersebut maka kegiatan tersebut akan memberi keuntungan, bahkan semakin efisien.

Lebih repot lagi dalam rumusan Pasal 2 UU Tipikor tidak ada kata “dengan sengaja”. Kata “dengan sengaja” dalam hukum pidana sangat penting. Kata ini yang membedakan perbuatan jahat yang didasarkan pada suatu niat jahat (mens rea) dan yang tidak berdasarkan suatu niat jahat.

Dalam pengelolaan keuangan negara, yang seharusnya masuk dalam tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang sejak awal “diniatkan” untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Bila kerugian negara tidak “diniatkan” secara jahat karena tindakan mala administrasi, atau dalam BUMN merupakan tindakan bisnis atau komersial, tidak seharusnya masuk dalam tindak pidana korupsi.

Bagi manajemen BUMN, adalah tidak adil bila tindakan korporat layaknya perusahaan swasta, yang karena keputusan bisnis berakibat pada suatu kerugian lalu harus dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Siapapun tidak mau dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan harus mendekam dipenjara bila tidak pernah ada “niat jahat” untuk merampok uang negara ataupun BUMN.

Tidak heran bila Presiden memberi dalam ultimatum kepada Pertamina untuk meninjau “harga” kenaikan elpiji dalam waktu 1×24 jam disiertai kata-kata “dengan memperhatikan ketentuan undang-undang.” Ini karena Presiden pun tidak mau dituduh menjadi pihak yang mendorong Pertamina untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dalam perspektif inilah pertemuan sejumlah Menteri dan Pertamina dengan BPK menjadi penting.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya