SOLOPOS.COM - Tangkapan layar Menteri Koordinator bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariejdi saat menyampaikan pernyataan pers di Kantor Presiden Jakarta pada Jumat (30/12/2022). (Antara/Desca Lidya Natalia)

Solopos.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md. meminta Polri memeriksa personel penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara kekerasan seksual pegawai Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan menengah (Kemenkop UKM).

Kasus kekerasan seksual pegawai Kemenkop oleh empat rekannya tersebut ditangani Polresta Bogor, Jawa Barat pada 2019 namun dihentikan.

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

Menurut Mahfud, hal itu menjadi salah satu hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Kemenkopolhukam yang menilai bahwa penyidik kasus tersebut sejak awal tidak profesional.

“Rakor tadi meminta Divisi Propam Polri untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara ini yang sejak awal sangat tidak profesional,” kata Mahfud dalam video pernyataan pers yang dirilis Rabu (18/1/2023) malam.

Mahfud menjelaskan setidaknya ada dua alasan mengapa Rakor Kemenkopolhukam meminta pemeriksaan terhadap penyidik Polresta Bogor tersebut.

Pertama karena telah mengeluarkan surat penghentian penyelidikan perkara (SP3) dengan dua surat yang berbeda ke alamat berbeda disertai alasan berbeda.

“Yang pertama surat pemberitahuan SP3 kepada jaksa menyatakan perkara di-SP3 karena restorative justice, tetapi surat pemberitahuan kepada korban menyatakan SP3 dikeluarkan karena tidak cukup bukti. Satu kasus yang sama diberi alasan yang berbeda kepada pihak yang berbeda,” katanya.

Padahal, lanjut Mahfud, pernyataan restorative justice atau keadilan restoratif telah dilaksanakan sekalipun sudah menyalahi aturan yang berlaku saat kasus terjadi, yakni Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.

“Menurut Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, yakni di dalam pasal 12 yang berlaku ketika kasus ini diproses bahwa kasus-kasus yang bisa diberi restorative justice adalah kasus yang kalau diberi restorative justice tidak menimbulkan kehebohan, tidak meresahkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Syarat ini tidak dipenuhi,” ujar Mahfud.

Selanjutnya, alasan kedua permintaan Rakor Kemenkopolhukam agar Polri memeriksa penyidik Polresta Bogor adalah karena yang bersangkutan memberikan penjelasan yang oleh hakim praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor dijadikan dasar bahwa pencabutan SP3 hanya berdasarkan hasil rakor di Kemenkopolhukam.

“Sebab dalam faktanya rakor di Kemenkopolhukam itu hanya menyamakan persepsi bahwa penanganannya salah, sedangkan projustitia-nya dibicarakan melalui gelar perkara internal di Polresta Bogor itu dilakukan,” katanya seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Kasus kekerasan seksual pegawai perempuan Kemenkop UKM berinisial ND oleh empat rekan kerjanya terjadi pada 6 Desember 2019.

Pengusutan oleh Polresta Bogor terhenti sebelum hasil penyidikan dinyatakan lengkap atau P21 setelah keluarga pelaku yang merupakan pejabat Kemenkop UKM mendatangi orang tua korban, meminta berdamai, menikahkan korban dengan salah satu pelaku, serta mencabut laporan.

Akan tetapi kasus kembali mengemuka setelah pelaku yang dinikahkan dengan korban NB meminta bercerai dan menjadi viral hingga mendapat perhatian dari Kemenkopolhukam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya