SOLOPOS.COM - Ilustrasi kejahatan seksual (Dok/JIBI)

Solopos.com, JAKARTA — Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan semua pihak bahwa bentuk kejahatan seksual kepada anak tak hanya selalu berupa pemerkosaan tetapi bisa berupa paksaan ataupun bujukan.

“Jadi bentuk kekerasan seksual kepada anak, tidak selalu berupa pemerkosaan, tidak selalu berbentuk incest dan sodomi. Dia biasanya bisa berupa bujukan atau paksaan untuk terlibat aktivitas seksual,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI Eva Devita Harmoniati dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (13/7/2022).

Promosi BRI Group Buka Pendaftaran Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 untuk 6.441 Orang

Eva menuturkan seringkali bentuk kekerasan seksual pada anak dipahami sebagai terjadinya pemerkosaan, incest ataupun sodomi.

Namun dengan seorang anak terbujuk untuk melihat dan terstimulasi ikut dalam kegiatan seksual seperti melalui perabaan, hal tersebut sudah termasuk dalam kekerasan seksual.

Baca Juga: Hukum Kekerasan Seksual: Penjara 15 Tahun, Denda Rp1 Miliar

Orang tua harus dapat memahami, kejahatan seksual pada anak lainnya juga dapat berupa eksploitasi seksual komersial melalui video atau film pornografi yang melibatkan anak dalam visual ataupun audionya serta perbudakan seksual, perdagangan anak hingga pernikahan paksa.

Pada masa pandemi Covid-19 yang menuntut setiap anak bersentuhan dengan media online, Eva mengatakan terdapat lima bentuk ekspoitasi seksual secara daring yang sering menimpa anak-anak yakni cyber child sexual abuse, kegiatan ini biasanya membuat gambar atau video kekerasan seksual hingga berfokus pada kelamin anak.

Di mana tiap materi aktivitas seksual yang menggunakan anak dibuat secara digital tanpa adanya bentuk yang nyata.

Baca Juga: Dampingi Anak Korban Kejahatan, Kantor Komnas PA Dua Kali Dibakar

Kedua adalah sexting yakni pembuatan dan pembagian gambar telanjang atau nyaris telanjang yang menggoda secara seksual melalui telepon genggam ataupun jejaring sosial.

Biasanya anak melakukan karena inisiatif sendiri, ancaman dari pelaku atau tekanan teman.

Kejahatan ketiga yang Eva sebutkan adalah online grooming for sexual purposes di mana pelaku akan menjalin hubungan dengan anak melalui internet sebagai wadah untuk melakukan kontak seksual daring ataupun luring.

Baca Juga: Komnas PA Sebut Korban Pelecehan Motivator Julianto Eka 40 Siswi

Pada mulanya, pelaku akan memberikan perhatian dan hadiah-hadiah pada anak. Dari sana, mereka akan mulai melakukan kekerasan secara psikologis, melakukan manipulasi, mendidik secara seksual dan membuat anak tidak peka.

“Ini sangat mengkhawatirkan karena ternyata para pedofil atau para pelaku kejahatan seksual daring menyasar justru anak-anak yang belum paham tentang media sosial, belum paham batasan-batasan dalam mengunggah foto sehingga rentan sekali menjadi korban,” ujar dia.

Baca Juga: Dituding Membela Terdakwa Pelecehan Seksual, Ini Kata Kak Seto

Lebih lanjut Eva menerangkan tentang sexual extortion, sebuah pemerasan untuk mendapatkan konten seks berupa foto ataupun video, guna memperoleh uang dari korban ataupun terlibat dalam seks dengan korban melalui paksaan secara daring.

Dengan 60 persen pelaku bertemu secara daring melalui sosial media.

“Kemudian ada juga streaming of child sexual abuse. Ini pemaksaan pada anak untuk melakukan atau terlibat aktivitas seksual, baik sendiri atau dengan orang lain. Kemudian disiarkan secara langsung melalui internet dan ditonton oleh orang-orang yang telah memesan, bersama dengan jaringan pelaku kejahatan seksual atau pedofil,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya