SOLOPOS.COM - Terdakwa Richar Eliezer (kanan) menjalani sidang agenda tuntutan di PN Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023). (Tangkapan layar tayangan persidangan)

Solopos.com, JAKARTA – Kekecewaan terhadap jaksa penuntut umum (JPU) kasus Ferdy Sambo bukan hanya dari keluarga dan publik tapi juga dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Lembaga resmi milik negara itu sangat menyayangkan tuntutan 12 tahun terhadap terdakwa Bharada Richard Eliezer karena penembak Brigadir Yosua itu berstatus justice collaborator.

Promosi BRI Group Buka Pendaftaran Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 untuk 6.441 Orang

Justice collaborator adalah pelaku kejahatan yang berbalik bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap pelaku lainnya yang lebih banyak dan lebih besar.

Tanpa Richard Eliezer, kasus pembunuhan keji terhadap Yosua oleh Ferdy Sambo dan kawan-kawan tidak akan pernah terungkap ke publik.

Kekecewaan LPSK itu dilontarkan Wakil Ketua LPSK, Susilaningtyas, seusai sidang tuntutan terhadap Bharada Richard Eliezer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).

Susilaningtyas menyayangkan jaksa tidak memperhatikan surat dari LPSK tentang posisi Richard Eliezer sebagai justice collaborator.

“Kami sangat kecewa dan menyayangkan tuntutan itu. Tapi kami menghargai karena tuntutan itu kewenangan jaksa. Yang pasti surat dari kami kurang diperhatikan,” kata Susilaningtyas seperti dikutip Solopos.com dari Breaking News MetroTV, Rabu.

Menurutnya, posisi sebagai justice collaborator sangat menentukan terungkap tidaknya sebuah kejahatan besar.

Dalam kasus Sambo, jika Richard Eliezer tidak membuka ke penyidik peran Sambo dan Putri Candrawathi takkan diketahui.

“Dan Richard sudah konsisten sebagai JC selama persidangan, kenapa ini tidak diperhatikan oleh jaksa,” keluh Susilaningtyas.

Kendati kecewa dengan jaksa, LPSK berharap majelis hakim dapat memutus perkara itu dengan seadil-adilnya.

Di Jambi, orang tua Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat sakit hati dengan tuntutan terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Mereka merasa kesedihan ditinggal mati putra kebanggaan mereka kian pedih karena ditambah tuntutan ringan terhadap sang terdakwa pembunuh.

Sembari menangis tersedu, ibunda Yosua, Rosti Simanjuntak mengatakan cobaan untuk keluarganya sangat berat.

Bukan saja karena anak mereka dibunuh Ferdy Sambo dkk. melainkan juga karena mereka merasa tidak mendapatkan keadilan di pengadilan.

“Melihat persidangan hari ini hati kami semakin hancur. Cobaan untuk kami begitu berat. Pak hakim, tolong kami,” kata Rosti setengah berteriak dengan terbata-bata sembari terus terisak, seperti dilihat Solopos.com dari siaran KompasTV, Rabu (18/1/2023).

Sakit hati Rosti tak terperi. Anaknya, Yosua, dibunuh secara keji dengan ditembak beberapa kali oleh Bharada Richard Eliezer atas suruhan Ferdy Sambo.

Dalam persidangan Eliezer menyebut Ferdy Sambo juga turut menembak almarhum Yosua.

Sakit hati Rosti bertambah atas tuduhan pemerkosaan yang dilontarkan kubu Sambo sepanjang persidangan.

Ia kian pedih saat jaksa penuntut umum menyebut bahwa ada perselingkuhan antara almarhum Yosua dengan Putri Sambo.

“Kepada Pak Hakim kami berharap ada keadilan untuk kami,” tutur Rosti dengan tersedu.

Pengacara keluarga Brigadir Yosua marah atas tuntutan delapan tahun terhadap Putri Candrawathi.

Menurut salah satu pengacara keluarga Yosua, Martin Simanjuntak, tuntutan tersebut menyiratkan jaksa penuntut umum tidak mempunyai nurani keadilan.

“Pada saat sekarang ini, ketika tuntutan ini dibacakan, ibunda Yosua sedang menangis-nangis di rumahnya, merasakan bagaimana ketidakadilan di negeri ini. Kalau bukan kepada jaksa penuntu umum kepada siapa lagi kita memberikan mandat untuk menuntut keadilan terhadap terdakwa,” ujar Martin Simanjuntak dengan nada tinggi, seperti dikutip Solopos.com dari siaran KompasTV, Rabu (18/1/2023).

Martin menyatakan pihaknya sangat kecewa dengan tuntutan jaksa terhadap Putri Sambo.

Setelah sebelumnya jaksa menuntut tidak maksimal kepada Ferdy Sambo, tuntutan terhadap Putri Sambo kian menyakitkan hati keluarga Yosua.

Yang aneh, kata dia, meskipun mendalilkan Putri Sambo bersalah melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, nyatanya mereka hanya menuntut istri Ferdy Sambo itu delapan tahun penjara.

Padahal dalam pasal tersebut ancaman hukumannya bersifat alternatif yakni penjara 20 tahun, penjara seumur hidup hingga hukuman mati.

“Pembunuhan dengan sengaja hanya dihargai delapan tahun. Bebaskan saja sekalian sudah,” tandas Martin.

Martin tidak habis pikir dengan pola pikir jaksa penuntut umum. Fakta-fakta di persidangan, kata dia, membuktikan Putri Sambo bersama suaminya terbukti menjadi otak intelektual pembunuhan Yosua.

Sebagai jaksa penuntut umum, kata dia, mereka diamanahi keluarga Yosua untuk menuntut keadilan atas pembunuhan keji terhadap salah satu ajudan Ferdy Sambo tersebut.

“Fakta-fakta jelas. Mereka (jaksa) juga menyimpulkan Putri terbukti ikut merencanakan pembunuhan. Kenapa tuntutannya hanya delapan tahun? Takutnya saya nanti di publik seolah-olah kita boleh membunuh orang sesukanya, toh tuntutannya ringan kok,” ujar rekan Kamarudin Simanjuntak.

Sebelumnya diberitakan, JPU menuntut terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Putri Candrawathi, dengan pidana delapan tahun penjara.



JPU membacakan tuntutan pada sidang lanjutan perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama delapan tahun,” kata Jaksa Didi Aditya Rustanto saat membacakan tuntutan di hadapan ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso di PN Jakarta Selatan dikutip dari Antara.

Jaksa menyatakan Putri Candrawathi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Keanehan tuntutan jaksa juga terjadi pada persidangan Ferdy Sambo sehari sebelumnya. Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Profesor Mudzakkir menilai ada kejanggalan dalam tuntutan penjara seumur hidup terhadap Ferdy Sambo.

Kejanggalan terletak pada tuntutan terhadap Sambo yang tidak maksimal sesuai Pasal 340 KUHP yakni hukuman mati.

Padahal, menurut Mudzakkir, jaksa dalam tuntutannya menyatakan tidak ada hal yang meringankan bagi Ferdy Sambo dalam pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

“Satu sisi jaksa menyatakan tidak ada hal yang meringankan tapi tuntutannya tidak maksimal. Kalau tidak ada hal yang meringankan terdakwa otomatis kan ancaman maksimal berlaku. Sesuai Pasal 340 KUHP ancaman maksimalnya ya pidana mati,” ujar Mudzakkir, seperti dikutip Solopos.com dari siaran INews, Selasa (17/1/2023).







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya