SOLOPOS.COM - Publikasi halalbihalal yang dimuat di Soeara Moehammadijah. (suaramuhammadiyah.id)

Solopos.com, SOLO—Dalam berbagai versi sejarah halalbihalal di Indonesia, majalah Suara Muhammadiyah menyimpan bukti autentik. Majalah milik persyarikatan Muhammadiyah itu pada 1926 telah memuat kata “alal bahalal” pada edisi menjelang 1 Syawal 1344.

Bahkan dalam dokumen Suara Muhammadiyah pada 1924, sudah memuat sebuah artikel yang memasukkan kata “chalal bi chalal” dalam sebuah paragraf.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Salah satu sumber sejarah primer paling awal yang merekam kata ini menunjukkan bahwa istilah halalbihalal sudah eksis sejak era 1920-an di antara warga Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri didirikan pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan.

Baca Juga: Doa Halalbihalal, Cocok Dibaca Saat Merayakan Lebaran

Ini bisa dilihat dari majalan Soeara Moehammadijah, media cetak resmi terbitan Muhammadiyah yang sudah terbit sejak 1915. Dilansir dari Historia, keterangan mengenai halalbihalal itu tersua dalam Soeara Moehammadijah edisi No. 5 tahun 1924 (terbit sekitar April 1924) yang dipublikasikan menjelang Hari Raya Idulfitri 1924, yang saat itu jatuh pada 6 Mei.

Seorang penulis asal Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, yang merupakan warga Muhammadiyah, Rachmad, menulis sebuah kolom yang judulnya “Hari raja Iedil fithri”.

Di artikelnya ia mengajak pembaca Soeara Moehammadijah dan kaum muslim Indonesia pada umumnya untuk merenungkan beberapa makna kunci yang berkaitan puasa dan Hari Raya Idulfitri.

Baca Juga: Halalbihalal Boleh Tapi Tak Bisa Makan di Tempat, Ini Respons PHRI Solo

Adapun mengenai Hari Raya Idul Fitri, Rachmad juga menyampaikan beberapa hal yang menurutnya telah menjadi ciri khas hari besar Islam itu: “Oemoemnja pada hari raja Iedil fithri kita sama Chalal bil Chalal (Ar.) (ngapoera ingapoera Jv), sama memakai pakaian jang endah-endah, dan baoe-baoean jang haroem Haroem”.

Dari sini bisa diketahui bahwa istilah dan kegiatan halalbihalal sudah menjadi penanda yang umum bagi hari raya (selain dengan berpenampilan menarik) di pertengahan 1920an itu, jadi memperlihatkan bahwa masyarakat Hindia Belanda di era kolonial sudah terbiasa menggunakan istilah itu maupun menjalankan aktivitas halalbihalal itu selama bertahun-tahun sebelumnya.

Menariknya, di sini disebutkan versi Jawa dari istilah itu, yakni ngapura ingapura alias saling memaafkan. Mungkin ini merupakan suatu cara untuk mempopulerkan lebih jauh istilah dan makna halalbihalal ke tengah masyarakat muslim Jawa.

Baca Juga: Halalbihalal Lebaran 2022 Boleh Digelar, Ini Aturannya

 

Iklan Halalbihalal

Redaksi majalah Soeara Moehammadijah bahkan membawa tradisi halalbihalal ini ke dalam dunia literasi yang saat itu sedang berkembang, walau masih dalam skala awal, di antara kaum pribumi Hindia Belanda. Sebelumnya halalbihalal umumnya dilakukan secara fisik, dengan orang saling bertemu, berjabat tangan, dan saling mengucap maaf di bulan Syawal. Tapi, tidak semua orang bisa bersua secara fisik di hari raya, baik karena kendala jarak, transportasi ataupun alasan lainnya.

Sejak 1926, Soeara Moehammadijah memperkenalkan halalbihalal yang dimediasi oleh lembaran kertas di media cetak berupa iklan sehingga memberikan definisi ulang pada halalbihalal. Maka, halalbihalal tidak selalu berarti berjabat tangan secara langsung, melainkan dapat pula berarti bersalaman secara simbolis. Yang penting pesan silaturahmi dan saling memaafkan tersampaikan.

Pada edisi Soeara Moehammadijah dari 1926, redaksi majalah ini dalam sebuah pemberitahuannya menjelang Hari Lebaran (jatuh pada 14 April 1926) menyatakan bahwa mereka menyediakan kolom bagi “toean-toean dan saudara kaum Islam teroetama kaum Moehammadijin’ yang ingin bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri. Dengan biaya yang terjangkau (f 0,50), Soeara Moehammadijah bersedija oentoek menjampaikan alal-bahalal saudara”.

Baca  Juga: Halalbihalal Tradisi Lebaran Khas Indonesia, Begini Asal Mulanya

Redaksi meminta agar para pembaca yang tertarik berhalalbihalal via majalah ini untuk segera menghubungi mereka agar di edisi yang akan datang “saudara ampoenja nama bakal nampak”, atau dengan kata lain, ucapan halalbihalalnya, dimuat.

Di tahun itu, sirkulasi majalah ini tidak hanya mencakup kota kelahirannya saja (Yogyakarta), tapi sudah menjangkau berbagai kota di antero Jawa dan Sumatra, seiring dengan perkembangan cepat cabang dan ranting Muhammadiyah ke berbagai tempat di Hindia Belanda di dekade 1920an itu.

Dengan demikian, berhalalbihalal lewat kolom advertensi di majalah bersirkulasi lintaspulau ini merupakan suatu cara untuk membangun hubungan yang emosional pada Hari Raya dalam skala yang lebih luas, menyimbolkan rasa persaudaraan yang melintasi batas-batas kekerabatan dan lokalitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya