SOLOPOS.COM - Kabut asap pekat menyelimuti Kota Palembang, Sumsel. Rabu (30/9/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Nova Wahyudi)

Kabut asap Sumatra melanda sebagai akibat kebakaran hutan dan lahan.

Solopos.com, PALEMBANG – Kabut asap sebagai dampak kebakaran hutan dan lahan masih dirasakan oleh sebagian masyarakat di Sumatra dan Kalimantan. Akademisi menilai pemulihan lahan yang terbakar di Sumatra Selatan butuh waktu lama dan biaya mahal.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Berdasarkan penelitian saya di Kawasan Ogan Komering Ilir (OKI), setidaknya dibutuhkan waktu lima tahun dengan biaya Rp5 juta per hektare per tahun dengan menggunakan teknologi,” kata ahli tata kelola air dan hidrologi dari Universitas Sriwijaya, Momon Sodik Imanudin, Jumat (2/10/2015).

Menurut Momon, kualitas tanah hasil pembakaran itu pun sebetulnya bakal menjadi buruk sehingga berdampak pada komoditas yang akan ditanam.

“Jika pembakaran lahan ini terus berlangsung maka tanah akan menjadi lapar, atau terus menerus ingin makan karena unsur haranya berkurang. Tanah harus dipupuk terus dan dosisnya terpaksa ditambah terus. Akhirnya kerusakan tanah tidak dapat terelakkan lagi,” terang dia.

Dia mengatakan pemerintah seharusnya tidak hanya menyosialisasikan agar masyarakat tidak membakar lahan, akan tetapi, yang terpenting yakni membuat kompensasi agar petani tidak membakar lahan.

“Dapat dengan cara menyediakan eskavator, traktor, dan petugas di setiap desa di saat musim tanam. Ini lebih konkret,” kata dia.

Berdasarkan catatan Momon, sebanyak 9.300 ha lahan di Sumsel terbakar yang mana 99% merupakan akibat ulah manusia.

Dia menjelaskan, ketika dibakar, unsur hara tanah menjadi mudah hilang karena tidak ada kesempatan tersimpan di dalam tanah mengingat lahan yang terbakar sangat rawan erosi.

Kondisi itu sangat berbeda jika pembersihan lahan tanpa dibakar (ramah lingkungan). Humus ada kesempatan untuk bersembunyi di dalam tutupan tanah, semisal daun kering maka ada waktu untuk pembusukan.

Dia mengatakan berdasarkan riset lembaga terkemuka, kerugian akibat kehilangan unsur hara mencapai nominal Rp65 juta per ha.

Angka nominal itu didapatkan berdasarkan asumsi atas kehilangan unsur N dan C hingga 97%. Akibatnya, petani akan merasakan dampaknya secara bertahap pada masa mendatang dengan ditandai penurunan produksi lahan.

“Jika ini terjadi pada perkebunan sawit maka buahnya tidak ada sebanyak yang dihasilkan lahan yang tidak dibakar, jika ini pada perkebunan ubi maka hasilnya akan kurus-kurus,” papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya