SOLOPOS.COM - Fraksi PDI Perjuangan protes intrupsi, Selasa (7/10/2014). (Abdullah Azzam/JIBI/Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA — Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi-JK gagal meraih kursi pimpinan MPR setelah voting paket yang diusulkan kalah tipis 17 suara dibandingkan paket yang diusung Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta.

Kekalahan voting ini menambah panjang daftar kegagalan Koalisi Indonesia Hebat dalam perebutan pimpinan strategis di parlemen. Kekalahan telak 5-0 dimulai dalam pembahasan RUU MD3, RUU Pilkada, RUU Tata Tertib DPR, pemilihan pimpinan DPR, dan pemilihan pimpinan MPR.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

“Sekarang menyalurkan hasrat libido kekuasan, setelah pelantikan situasi akan berubah.”

Anggota Koalisi Indonesia Hebat heran dengan kekalahan bertubi-tubi yang dialami oleh koalisi yang didalamnya ada partai pemenang pemilu PDIP. Presiden terpilih pun Joko Widodo (Jokowi) harus berulangkali mengucapkan selamat kepada pimpinan DPR dan MPR yang dikuasai oleh partai lawan.

Tetapi hal yang menyakitkan adalah kegagalan paket pimpinan MPR yang sudah merelakan unsur DPD menjadi ketua, yakni senator Oesman Sapta Odang. Kekuatan juga ditambah dengan bergabungnya PPP yang diberi jatah posisi wakil ketua MPR.

Partai berlambang Kakbah itu menyebarang karena Koalisi Merah Putih naungannya tidak membagikan posisi pimpinan DPR dan pimpinan MPR. Ketika bergabung dengan paket pimpinan KIH, partai langsung mengajukan nama Hasrul Azwar sebagai wakil ketua MPR.

Dengan paket itu, awalnya pendukung Jokowi-JK percaya diri bisa menang dalam voting yang berlangsung secara tertutup. Perhitungannya KIH memiliki 207 kursi DPR ditambah PPP 39 kursi sehingga total 246 kursi. Adapun strategi mengusung DPD sebagai ketua MPR akan menambah soliditas 132 senator.

Asumsinya jika semua anggota DPD memilih paket A usulan KIH maka akan mendapat 378 suara. Di atas kertas, angka ini jauh lebih besar dibandingkan kursi yang dimiliki oleh KMP setelah ditinggalkan PPP bergabung dengan KIH yakni tinggal 314 suara.

Sayangnya upaya itu meleset, hasil voting menunjukkan paket A milik KIH hanya mengumpulkan 330 suara dan paket B milik KMP 347 suara. Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding hanya tersenyum ketika ditanya kemungkinan banyak suara yang bocor merembes masuk KMP. “Enggak tahu, ha..ha..ha,” ujarnya, Kamis (9/10/2014).

Ekspektasi bahwa soliditas anggota senator akan memihak kepada KIH ternyata tak sesuai dengan harapan. DPD menargetkan 100 suara tetapi yang masuk hanya sekitar 77 suara. Karding memaklumi hal tersebut. Tidak dipungkiri para anggota DPD juga berlatar belakang partai politik.

“Kan begini, anggota DPD banyak juga garis partai. PKS punya sekitar 10 ke atas, itu satu faktor. Faktor lain faktor X lah,” jelasnya. Ditanyak apakah faktor X itu adalah uang, Karding enggan menuduh tetapi mencium hal seperti itu pada unsur DPD.

Kehadiran PPP bergabung dengan KIH juga tanggung. Suara dengan modal 39 kursi yang dibawa jauh dari penuh. Alhasil selisih tipis hasil voting pimpinan MPR harus diterima dengan lapang dada oleh anggota partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat.

Paket B akhirnya menang dengan komposisi Ketua MPR Zulkifli Hasan (PAN), Wakil Ketua meliputi Mahyudin (Golkar), EE Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS) dan Oesman Sapta Odang (DPD). Sapu bersih kekuasaan DPR dan MPR oleh KMP memunculkan dugaan bakal melakukan pemakzulan atau impeachment terhadap presiden.

Bersambung ke hal. 2: Semua akan Berubah Pascapelantikan Jokowi

Semua akan Berubah Pascapelantikan Jokowi

Pengamat Politik Charta Politica Yunarto Wijaya menyatakan tidak semudah itu melakukan langkah ekstrem impeachment terhadap Jokowi. Kasusnya berbeda dengan presiden Abdurahman Wahid yang diangkat oleh MPR waktu itu.

Menurut Yunarto, proses menjatuhkan presiden harus melalui rangkaian panjang di Mahkamah Konstitusi, hak menyatakan pendapat, hak angket atau menyelidik dan sebagainya. Tentu saja semua itu ditempuh ketika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau pelanggaran konstitusi.

Sebelum jauh ke sana, perkembangan politik akan semakin panas ketika pascapelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober mendatang. Kemungkinan partai menyebarang dari KMP menuju KIH atau sebaliknya tidak tertutup kemungkinan.

Pada saat ini partai pendukung Prabowo-Hatta memiliki kekuatan luar biasa atas soliditas sejak masa Pilpres 2014. Kondisi itu akan dilanjutkan sampai dengan pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR. Tetapi, politik berubah sangat cepat bahkan setiap menit hingga satuan detik.

Yunarto Wijaya menyatakan tidak menutup kemungkinan partai oposan akan berbalik arah menjadi pendukung pemerintah. Kondisi sebelum pelantikan dipastikan berbeda dengan situasi ketika Jokowi dan JK sudah dilantik menjadi pemimpin negara. “Sekarang menyalurkan hasrat libido kekuasan, setelah pelantikan situasi akan berubah,” ujarnya.

Ibaratnya, sekarang Jokowi bukan siapa-siapa alias sebagai presiden terpilih yang belum dilantik. Jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta masih melekat seiring proses pengunduran diri yang telah disampaikan kepada Presiden.

Sebelum dilantik, Jokowi belum punya wibawa di Tanah Air sebagai pemimpin negara, apalagi anggaran belum punya. Ketika dua hal itu dipegang Jokowi, partai politik akan berpikir ulang apakah menjadi oposan atau mendukung pemerintah. Kita tunggu saja setelah 20 Oktober.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya