SOLOPOS.COM - Kepala UPT PLDPI Solo, Siwi Purno. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO–Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI) Kota Solo, Siwi Purno mengatakan anak dengan IQ di atas rata-rata merupakan kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Dia mengistilahkan dengan cerdas istimewa (CI). Menurut dia, calon peserta didik (CPD) dengan kategori CI harus diberikan pelayanan yang khusus pula. Hal ini agar CPD bisa memaksimalkan bakat yang dimiliki.

Promosi Cerita Penjual Ayam Kampung di Pati Terbantu Kredit Cepat dari Agen BRILink

“Kita juga fasilitasi yang CI, makanya setelah assement kita akan tahu anak itu cerdas istimewa atau slow learner,” kata dia kepada Solopos.com, Jumat (12/5/2023).

Dari hasil assessment tersebut, jika CPD diketahui memiliki IQ 120-130 maka masuk pada kategori CI. Siwi mengatakan pendaftaran CPD tersebut harus melalui jalur afirmasi.

Asesmen dilakukan kepada siswa dari PAUD ke SD atau dari SD ke SMP agar CPD mendapat layanan dan kurikulum yang sesuai.

“Kadang kan kita tidak tahu, anak tingkahnya terlalu banyak, tapi dia penuh kecerdasan istimewa,” lanjut dia.

Menurut dia, siswa dengan kategori CI sekolah akan memberikan pendampingan khusus melalui Guru Pendamping Khusus (GPK). GPK berkewajiban membantu mengembangkan bakat siswa melalui kurikulum atau program di sekolah.

“Apalagi sekarang Kurikulum Merdeka kan ada istilah berdiferensiasi. Artinya kebutuhan anak itu apa ya harus dilayani. Termasuk jika memiliki kecerdasan istimewa, sekolah harus mampu mengarahkan bakatnya ke bidang apa,” kata dia.

Sementara itu, dia menyebut jika IQ yang bisa masuk ke sekolah inklusi yakni dengan skor di atas 70. Sedangkan bagi CPD yang mendapatkan skor IQ di bawah diarahkan mendaftar ke Sekolah Luar Biasa. “Salah satu tujuan Assessment ABK untuk memetakan itu,” kata dia.

Namun, dia tidak menampik adanya stigma bagi anak yang harus mendaftar ke SLB. Siwi menyebut masih banyak orang tua yang enggan mendaftarkan putra-putrinya ke SLB meski hasil assesment menunjukan demikian.

Hal serupa juga disampaikan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan (Disdik) Solo, Abi Satoto. Menurut dia, yang menjadi tantangan terberat adalah orang tua. Stigma ABK yang bersekolah di SLB masih buruk, sehingga persepsi orang tua ikut terpengaruh.

“Yang berat itu image orang tua, bahwa anaknya tidak mau disekolahkan di SLB, nanti dikira seperti apa. Tapi kan data ilmiahnya ada di assessment itu, sehingga kita tidak boleh memaksakan. Misal ada anak di sekolah biasa [umum] tidak bisa dilayani. Maka harus ke sekolah khusus,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya