SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo didampingi Menko PMK Muhadjir Effendy (kedua kiri), Seskab Pramono Anung (kiri) mendapat penjelasan dari Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi (keempat kiri) tentang peralatan SAR di sela Rapat Kerja Basarnas dan FKP3 Nasional 2023 di Kantor Pusat Basarnas, Jakarta, Kamis (16/2/2023). (Antara/Sigid Kurniawan)

Solopos.com, JAKARTA — Operasi tangkap tangan dan penetapan tersangka dua anggota TNI, Marsdya Henri Alfiandi (Kepala Basarnas) dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto berujung protes oleh Mabes TNI kepada KPK.

Menurut Mabes TNI, KPK menyalahi aturan karena memproses hukum dua anggota militer tanpa berkoordinasi dengan Puspom TNI.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Padahal sesuai Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang berhak memproses hukum anggota TNI jika diduga melakukan pelanggaran adalah Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.

Berikut tata cara penegakan hukum di militer, seperti dirangkum Solopos.com dari UU Peradilan Militer, Jumat (28/7/2023).

Sesuai dengan Pasal 12 UU Peradilan Militer, terdapat empat model peradilan di militer.

Keempat pengadilan itu masing-masing Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran.

Pengadilan Militer Utama berkedudukan di Ibu Kota dan meliputi seluruh wilayah di Indonesia (Pasal 14 ayat 1).

Jika diperlukan, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya (Pasal 14 ayat 3).

Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana pada tingkat pertama dengan satu orang hakim ketua dan dua hakim anggota, dihadiri satu orang oditur militer/oditur militer tinggi dan dibantu satu orang panitera (Pasal 15 ayat 1).

Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding (Pasal 15 ayat 3).

Pasal 16 ayat (1) menyebutkan, hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah berpangkat mayor sedangkan hakim anggota dan oditur (penuntut) militer paling rendah berpangkat kapten.

Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat kolonel sedangkan hakim anggota dan oditur militer tinggi paling rendah berpangkat letnan kolonel (ayat 2).

Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat brigadir jenderal/laksamana pertama/marsekal pertama sedangkan hakim anggota paling rendah berpangkat kolonel (ayat 3).

Hakim ketua, hakim anggota dan oditur paling rendah berpangkat setingkat lebih tinggi pada pangkat
terdakwa yang diadili (ayat 4).

Namun jika terdakwanya berpangkat kolonel/jenderal, hakim anggota dan oditur paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa yang diadili.

Hal ini  diatur dalam Pasal 16 ayat 5.

Mabes TNI Kecewa

Sebelumnya diberitakan, Mabes TNI kecewa dengan KPK. Operasi tangkap tangan KPK terhadap dua anggota militer, Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, dianggap menyalahi aturan.

Mabes TNI tidak diajak koordinasi saat KPK menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan alat deteksi korban reruntuhan hingga menetapkan dua tentara tersebut sebagai tersangka.

“Kami terus terang keberatan kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer. Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri. Namun, saat press conference ternyata statement itu keluar, bahwa Letkol ABC maupun Kabasarnas Marsdya HA ditetapkan sebagai tersangka,” kata Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI Agung Handoko, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023), seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Menurut Agung Handoko, TNI memiliki aturan tersendiri untuk menindak anggotanya yang diduga melanggar hukum.

Sebagai lembaga penegak hukum, KPK seharusnya berkoordinasi dengan Mabes TNI jika mendapati ada dugaan pelanggaran oleh anggota militer.

Berdasarkan dokumentasi Solopos.com, penegakan hukum terhadap anggota militer diatur secara khusus dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

UU Peradilan Militer itu ditetapkan tanggal 15 Oktober 1997 oleh Presiden Soeharto.

Berdasarkan UU tersebut, semua hal terkait hukum yang melibatkan anggota TNI harus diproses oleh peradilan militer.



Kekecewaan Mabes TNI karena KPK tidak berkoordinasi sebelum menangkap serta menetapkan Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat deteksi korban reruntuhan.

Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (14) dan (15) UU Peradilan Militer, pihak di luar Puspom TNI seharusnya melaporkan jika ada anggota militer yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Ayat 14 berbunyi,”Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah melakukan atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”

Sedangkan Ayat 15 berbunyi,”Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.”

Selain itu, dalam Ayat 16 disebutkan yang berhak memproses hukum anggota militer adalah penyidik di Puspom TNI.

Pasal tersebut berbunyi,”Penyidik adalah serangkaian tindakan penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya