SOLOPOS.COM - Ilustrasi pendidikan inklusif (Dok/JIBI/Solopos)

Harianjogja.com, SLEMAN-Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Sleman mengaku adanya beberapa kendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah reguler. Tidak hanya masalah fasilitas pembelajaran, pandangan miring kepada sekolah yang menerima siswa difabel juga dinilai masih ada.

“Pandangan orang tua lain kadang masih negatif. Mereka merasa ragu mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah jika mengetahui di sana ada siswa difabel,” ungkap Kepala Disdikpora Sleman, Arif Haryono, ditemui di ruang kerjanya, Jumat (3/10/2014).

Promosi Jelang Lebaran, BRI Imbau Nasabah Tetap Waspada Modus Penipuan Online

Padahal, menurut Arif, anak-anak difabel juga memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.

“Ini cenderung tergantung orang tuanya, ingin menyekolahkan anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusi,” papar Arif.

Arif mengungkapkan tidak semua sekolah kontinu menjadi penyelenggara pendidikan inklusi.

“Yang jelas, saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kita tidak boleh menolak siswa berkebutuhan khusus,” kata dia menegaskan.

Selain persoalan stigma dari sebagian masyarakat, kendala sekolah inklusi berkaitan dengan keterrbatasan guru pembimbing khusus.

“Anak-anak juga butuh didampingi guru yang memahami benar kondisi mereka, misalnya bagaimana jika lambat belajar, tuna daksa, tuna rungu, dan sebagainya,” kata Arif.

Guru pembimbing khusus diperbantukan dari SLB. Namun, dia tidak datang setiap hari sekolah, hanya 2-3 kali saja dalam seminggu. “Jadi kami sudah mencoba melatih guru reguler, bagaimana melakukan bimbingan dan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Diharapkan, guru yang sudah ikut pelatihan itu bisa mengatasi keterbatasan guru pembimbing khusus,” terangnya kemudian.

Beberapa sekolah inklusi juga masih kurang mampu memenuhi sarana dan prasarana pembelajaran yang ramah difabel. Hal itu bisa dilihat dari bentuk bangunan fisik sekolah maupun fasilitas pembelajarannya.

Terkait kurikulum, Arif mengungkapkan, kurikulum bagi siswa reguler maupun difabel sama saja. Namun, sekolah juga menyesuaikan kondisi siswa difabel.

“Misalnya ada anak yang lambat belajar, maka perlu ada penyesuaian dalam penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Bisa juga dengan penerapan cara belajar yang sesuai kemampuan dan kebutuhan siswa,” imbuh Arif.

Kasie Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD Disdikpora Sleman, Bardi menambahkan, terdapat 33 SD, tujuh SMP, dua SMK, dan satu MA yang masih menyelenggarakan pendidikan inklusi.

“Yang paling bagus penyelenggaraannya itu diantaranya SMP Muhammadiyah 1 Sleman dan SD Muhammadiyah Gendol 3 di Tempel,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya