SOLOPOS.COM - Ilustrasi unit produksi PT Sritex, Sukoharjo (Oriza Vilosa/JIBI/Solopos)

Solopos.com, JAKARTA – Produksi tekstil dalam negeri turun 20%-30% selama tahun 2014 ini. Faktor terbesar penurunan produksi tersebut adalah karena maraknya impor tekstil ilegal yang mayoritas berasal dari Tiongkok.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, mengatakan mayoritas produk tekstil selundupan berjenis kain jadi. Produk ini tersebar di pasar-pasar yang terletak di hampir seluruh kawasan Indonesia.

Promosi 796.000 Agen BRILink Siap Layani Kebutuhan Perbankan Nasabah saat Libur Lebaran

“Yang beredar di pasaran hampir 70% tekstil ilegal. Ilegalnya bukan pakaian jadi tapi kain jadi gelondongan. Dampaknya produksi kita turun 20%-30% tahun ini,” kata Ade, di Jakarta, Selasa (2/9/2014).

Menurut Ade tekstil ilegal tersebut biasanya barang sisa dari Tiongkok yang merupakan produsen dan negara pengekspor terbesar tekstil. Barang tersebut diselundupkan melalui Malaysia, Singapura, dan Thailand ke Indonesia.

Dia berharap pemerintah yang baru nanti bisa merumuskan aturan ekspor impor tekstil dengan negara-negara tetangga, termasuk Tiongkok. Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan diakui Ade menjadi hambatan penyusunan pengetatan aturan ini.

Dia mencontohkan kegiatan perdagangan tekstil antara negara yang bukan kepulauan, yakni Vietnam dan Kamboja. Transaksi kedua negara tersebut bisa dilakukan dengan hanya melakukan satu kali pemeriksaan di salah satu negara. “Itu tidak bisa diterapkan di Indonesia yang negara kepulauan. Pintu masuknya banyak,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi tekstil memang mengalami penurunan pertumbuhan pada triwulan I/2014. Jika dibandingkan dengan triwulan I/2013, terjadi penurunan sebesar 5,88%. Sedangkan jika dibandingkan dengan triwulan IV/2013, terjadi penurunan 6,61%.

Sebelumnya API berharap agar pemerintah bersedia mengikuti kerja sama Trans Pacific Partnership (TPP) dengan Amerika Serikat untuk meningkatkan ekspor produk tekstil di negara tersebut. Ade Sudrajat mengatakan kerja sama itu dibutuhkan agar barang-barang Indonesia tidak terkena biaya yang terlalu tinggi saat masuk di pasar negeri Paman Sam tersebut. “Persaingan tidak hanya ditentukan efisiensi dan efektivitas dalam negeri, tapi juga hubungan perdagangan internasional. Kalau hubungan erat belum ada kita akan susah bersaing,” kata Ade.

Ade mencontohkan Vietnam yang telah bergabung dalam TPP, kini nilai transaksinya bisa mengungguli Indonesia di sektor tekstil. Vietnam mampu mengelola uang sebesar US$19 miliar, sedangkan Indonesia hanya US$12,6 miliar. Padahal Indonesia sudah menggeluti ekspor tekstil sejak tahun 1980-an, sementara Vietnam baru pada tahun 2000-an. “Dengan keikutsertaan dalam TPP, biaya masuk produk Vietnam ke Amerika lebih rendah 10% dari biaya masuk yang dikenakan terhadap produk tekstil dari Indonesia,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya