SOLOPOS.COM - Indonesia Fact-checking Summit 2021 didukung Google News Initiative diselenggarakan pada Kamis-Senin (16-20/12/2021). (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA — Kolaborasi multipihak perlu dibangun dari hulu hingga hilir untuk memastikan kerja dan distribusi hasil pemeriksaan fakta dapat menyaingi kecepatan persebaran informasi bohong.

Kolaborasi itu juga dilakukan untuk menciptakan ekosistem informasi sehat bagi masyarakat. Wakil Ketua II AMSI, Irfan Junaidi, menyampaikan itu saat membuka webinar sekaligus puncak rangkaian Indonesia Fact-checking Summit 2021, Senin (20/12/2021).

Promosi BRI Imbau Masyarakat Tidak Mudah Terpancing Isu Uang Hilang di Medsos

Indonesia Fact-checking Summit 2021 diselenggarakan sejak Jumat-Senin (16-20/12/2021) dengan dukungan Google News Initiative.

Baca Juga : Sosok Otto Sugiri, Orang Terkaya ke-19 RI Berjuluk Bill Gates Indonesia

Irfan menyampaikan Cek Fakta bukan milik satu pihak tertentu tapi melibatkan banyak pihak, yakni media, CSO, jurnalis, dan lembaga lain. “Masyarakat perlu dilibatkan dan mendapatkan literasi Cek Fakta agar tidak menelan informasi mentah-mentah. Kemudian, mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Maka kerja sama berbagai pihak menjadi mutlak,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima Solopos.com, Selasa (21/12/2021).

Kolaborasi pemeriksaan fakta di Indonesia secara formal terbentuk selepas Trusted Media Summit 2018 melibatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan komunitas pemeriksa fakta Mafindo.

Kolaborasi diberi nama Cekfakta.com itu berjalan melibatkan 24 media massa di Indonesia. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, mengungkapkan tantangannya memastikan kerja dan hasil pemeriksaan fakta bisa terdistribusi viral seperti halnya informasi bohong.

Baca Juga : 600 Anak Yatim di Karanganyar dapat Santunan Rp300.000/Bulan

“Kelebihan kolaborasi periksa fakta Indonesia ini sangat kuat, mungkin paling kuat di Asia Tenggara,” ujar Septiaji.

Mafindo menilai kolaborasi paling sederhana dengan berbagai pihak adalah menyebarkan hasil cek fakta seluas-luasnya. Catatan Mafindo semasa pandemi Covid-19, peredaran konten verifikasi hanya mencapai 10 persen dari konten mis/disinformasi atau hoaks.

Butuh Strategi Bersama

Sekretaris Jenderal AMSI, Wahyu Dhyatmika, juga memberikan catatan kritis terkait kolaborasi yang sudah berjalan selama ini. “Belum [menyentuh] akar persoalannya,” katanya merujuk kerja pemeriksaan fakta.

Baca Juga : Heboh Selebgram TE Terlibat Prostitusi, Netizen Sebut Nama Ini

Menurutnya, perlu ada upaya memastikan kerja pemeriksaan fakta harus berdampak pada penciptaan ekosistem informasi yang lebih sehat. Kondisi pandemi, tambah Wahyu, memaksa pemeriksa fakta berkomunikasi dan berjejaring dengan beragam komunitas baru, seperti bidang kesehatan guna menyaingi peredaran informasi bohong seputar Covid-19.

“Pengalaman ini harusnya bisa coba direplikasi buat konteks lebih luas di luar isu kesehatan,” tuturnya.

Wahyu mengajak seluruh komponen membuat strategi bersama guna menyasar akar masalah penyebaran hoaks. Wahyu juga menyinggung bukti ekosistem informasi tidak sehat, antara lain kriminalisasi pemeriksa fakta, mempertanyakan kredibilitas pemeriksa fakta, doxing, perisakan daring, hingga kelompok masyarakat terpolarisasi.

Baca Juga : Ronggowarsito, Peramal Ulung dari Keraton Solo

Redaktur Medcom.id, Wanda Indana, dan Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com, Elin Yunita Kristanti, mewakili media yang memiliki kanal periksa fakta. Elin dan Wanda menyatakan kolaborasi penting dalam konteks melindungi publik sebagai kelompok paling rentan dalam penyebaran informasi bohong.

“Kami mengajak masyarakat agar berpartisipasi aktif melawan hoaks. Kami gelar kelas virtual untuk berbagi ilmu serta mengajak pakar memberikan penjelasan kepada 15 grup WhatsApp dengan kurang lebih 2.000 anggota yang kami kelola,” kata Elin.

Wanda membagi pengalamannya bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan terkait maraknya informasi bohong berbasis politik yang beririsan dengan isu agama. “Kami juga buat pelatihan verifikasi fakta dasar bagi masyarakat,” ujar Wanda.

Baca Juga : Segera Kedaluwarsa, Ribuan Vaksin AstraZeneca di Kudus Dikembalikan

Pada kegiatan itu, kolaborasi pemeriksa fakta cekfakta.com meluncurkan Playbook Cekfakta.com. Sekretaris Jenderal AMSI, Wahyu Dhyatmika, menerangkan buku panduan dibuat dalam dua bahasa dan disematkan pada website Cekfakta.com.

Isinya strategi, program, latar belakang, proses kerja, hingga bagaimana kerja-kerja kolaborasi pemeriksaan fakta. Buku itu terbagi menjadi 8 bab sehingga memungkinkan publik, peminat pemeriksa fakta, dan akademisi melakukan studi, riset, dan membuka jejaring kerja bersama terkait pemeriksaan fakta.

Setelah pelucuran playbook, berlanjut webinar yang terbagi dalam dua sesi. Sesi 1 webinar membicarakan tentang Tantangan dan Peluang Cek Fakta sebagai Upaya Kolaborasi Media dan CSO dalam Membangun Ekosistem Informasi yang Kredibel di Indonesia.



Baca Juga : Tempat Wisata Menarik di Karanganyar yang Apik Buat Foto-foto

Hadir sebagai pembicara, yakni Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, Redaktur Medcom.id, Wanda Indana, Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com, Elin Yunita Kristanti, Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Donny Budi Utoyo, dan Sekretaris Jenderal AMSI, Wahyu Dhyatmika.

Sesi kedua webinar mengusung tema, Mengukur Dampak Cek Fakta: Sejauh Mana Media Berhasil Menangkal Hoaks.

Hadir narasumber dari Badan Pengawas dan Pertimbangan AMSI, Citra Dyah Prastuti, Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), Novi Kurnia, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Widjajanto, Direktur Media Kernels Indonesia (Drone Emprit), Ismail Fahmi, dan moderator dari Presidium Mafindo, Santi Indrastuti.

Baca Juga : Hasil Survei: Polri Paling Dipercaya, Kejaksaan Agung Paling Buncit

Tugas Jurnalis

Ketua AJI, Sasmito Madrim, mengungkapkan tugas jurnalis secara alamiah melakukan verifikasi dan menjernihkan banjir informasi yang menyebar di jagat digital.

“Kolaborasi antarjurnalis, perusahaan media, dan masyarakat sudah baik dalam memerangi hoaks. Namun, yang tidak kalah penting memastikan hasil pemeriksaan fakta yang dilakukan media tersebut sampai ke publik supaya dapat mengambil keputusan dengan tepat,” tutur Sasmito.

Direktur Media Kernels Indonesia (Drone Emprit), Ismail Fahmi, mengatakan misinformasi datu disinformasi mudah tersebar karena ketidakpercayaan pada sistem dan pemerintah. Pembuat hoaks menyesuaikan narasi-narasi dengan konteks lokal.

Baca Juga : Gua Maria Kaliori Banyumas, Wisata Religi Nasrani Terbesar di Indonesia

“Hoaks memanfaatkan kondisi tersebut dan mengambil keuntungan ekonomi dari adsense yang cukup besar,” ujarnya.

Ia menyampaikan posisi media masih jauh kalah populer dari influencer. Saat Pilpres 2019, katanya, gerakan cek fakta masuk di tengah-tengah kedua kubu.

Posisi cek fakta sangat penting karena banyak publik figur membutuhkan bantuan untuk pengecekan fakta. “Media Cek Fakta perlu masuk di klaster-klaster masyarakat dan perlu melibatkan masyarakat sebagai agen membantu distribusi. Agar Cek Fakta bukan lagi di tengah kedua kubu, tapi seperti udara, ada di mana-mana,” ungkap dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya