SOLOPOS.COM - Enam terpidana mati dieksekusi Minggu (18/1/2015). .(JIBI/Solopos/Antara/Reno Esnir)

Hukuman mati terus menjadi polemik. Langkah eksekusi terpidana mati oleh Kejakgung dinilai tak konsisten dengan upaya pemerintah menolak hukuman mati TKI.

Solopos.com, JAKARTA — Upaya Kejaksaan Agung (Kejakgung) mempercepat eksekusi terpidana mati dianggap bertentangan dengan upaya pemerintah membatasi pelaksanaan hukuman mati dalam rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan dibahas bersama DPR tahun ini.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono, mengatakan Pasal 87 Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang diajukan pemerintah menyatakan pidana mati adalah alternatif yang dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

“Pasal 89 RUU itu juga mengatur pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun. Jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal, dan ada harapan diperbaiki, serta kedudukannya dalam penyertaan tindak pidananya tidak terlalu penting,” katanya melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (18/1/2014).

Supriyadi menuturkan rancangan beleid itu juga memungkinkan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun, apabila terpidana menunjukkan sikap terpuji selama masa percobaan. Pidana mati baru dapat dilaksanakan jika masa percobaan yang diberikan tidak berhasil, dan grasi yang diajukan ditolak oleh presiden.

Menurutnya, dalam Pasal 90 RUU KUHP juga menyebutkan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup jika terpidana tidak dieksekusi dalam 10 tahun setelah grasinya ditolak presiden. “Penerapan hukuman mati jelas bertentangan dengan hak untuk hidup yang dilindungi konstitusi dan bertentangan dengan tujuan pemidanaan untuk koreksi,” ujarnya.

Dia menyebutkan pemerintah sebaiknya melakukan moratorium eksekusi pidana mati hingga pembahasan revisi KUHP selesai. Dengan begitu, pemerintah dapat menjaga konsistensi penegakan hukum, khususnya penerapan pidana mati di dalam negeri.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indriaswati D. Saptaningrum, mengatakan eksekusi pidana mati di dalam negeri bertolak belakang dengan sikap pemerintah yang menolak hukuman mati terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI).

Menurutnya, pemerintah sebaiknya meminimalkan penggunaan ancaman hukuman mati dalam penanganan kasus kejahatan. Dengan begitu, masyarakat internasional akan lebih mendengar upaya pemerintah dalam menyelamatkan TKI yang divonis mati di negara lain.

“Penghapusan hukuman mati tidak dapat ditawar lagi, karena hukuman mati tidak dapat memperbaiki kemungkinan kekeliruan pengadilan [error judiciaire],” ujarnya.

Indriaswati menuturkan penerapan hukuman mati juga tidak terbukti dapat menurunkan angka kejahatan yang terjadi. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sempat menyatakan hingga kini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan penerapan hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan di belahan dunia manapun.

Kejakgung baru saja melakukan eksekusi terhadap enam orang terpidana mati kasus narkoba, yaitu Rani Andriani, Daniel Enemuo, Namoa Denis, Ang Kim Soei, Tran Thi Bich Hanh, dan Marco Archer Cardoso Moreira.

Selain keenam orang tersebut, Kejaksaan Agung menyebut akan ada gelombang kedua eksekusi terpidana mati yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sejak 1987 setidaknya sudah 189 orang terpidana yang telah dijatuhi pidana mati. Dari jumlah tersebut, masih ada sekitar 158 terpidana mati yang menunggu eksekusi Jaksa Agung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya