SOLOPOS.COM - Mobil ambulans yang membawa peti jenazah, diseberangkan menuju Dermaga Sodong, Nusakambangan, Cilacap, Jateng, Kamis (28/7/2016). Kejaksaan Agung akan melakukan eksekusi mati terhadap 14 terpidana mati kasus narkoba, di Pulau Nusakambangan, akhir pekan ini. (JIBI/Solopos/Antara/Idhad Zakaria)

Hukuman mati yang tertunda eksekusinya pada 10 terpidana mati membuat nasib mereka tak jelas.

Solopos.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) belum menentukan nasib 10 terpidana mati yang ditunda pelaksanaan eksekusinya. Sepuluh terpidana tersebut sebelumnya sudah masuk ke dalam daftar terpidana yang akan dieksekusi pada gelombang ketiga.

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Jaksa Agung Tindak Pidana Noor Rachmad meminta waktu untuk menjelaskan alasan penundaan eksekusi sepuluh terpidana mati. Dia hanya mengatakan bahwa alasan penundaan bukan yuridis, karena seluruh hak hukum telah terpenuhi. Noor berjanji akan membeberkan ke publik alasan penundaan sesegera mungkin melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.

“Tunggu waktu. Itu kan ditangguhkan. [yuridis] tidak masalah. Itu yang didahulukan ada pertimbangan,” kata Noor di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (1/8/2016).

Noor juga membantah adanya pelanggaran hak empat terpidana yang telah dieksekusi Jumat (29/7/2016) dini hari. Dia menjelaskan bahwa notifikasi sudah disampaikan sejam Jumat (22/7/2016), bukan Selasa (26/7/2016) seperti yang disebutkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kantor Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Minggu (31/7/2016).

Mengenai grasi, kata Noor, keempat terpidana yang telah dieksekusi sudah melewati batas waktu pengajuan grasi. Keempatnya telah berkekuatan hukum tetap sejak sebelum putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengajuan grasi yang tak lagi dibatasi waktu.

“Grasi itu ketentuannya hanya satu tahun. Mereka lewat setahun. UU grasi yang lama. Empat ini tidak mengajukan grasi dalam setahun setelah kasasi. Fredi Budiman diputus 2014,” kata Noor.

Sebelumnya YLBHI bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Elsam, dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) menyebutkan beberapa pelanggaran yang dilakukan otoritas dalam pelaksanaan hukuman mati gelombang ketiga. Dua pelanggaran paling disoroti adalah notifikasi kepada terpidana mati dan juga keluarga, serta hak pengajuan grasi terpidana.

Menurut YLBHI notifikasi seharusnya diberikan minimal 72 jam sebelum eksekusi. “Notifikasi Selasa [26/7] jam 3 sore. Eksekusi seharusnya Jumat [29/7] sore, bukan dini hari,” kata peneliti ICJR Erasmus Napitulu.

Di dalam Pasal 2 Ayat 3 UU Grasi tertulis bahwa terpidana dapat dieksekusi mati apabila eksekutor telah menerima Keputusan Presiden menolak permohonan grasi terpidana. “Humprey pada 25 Juli 2016 mengajukan grasi dan sampai kemarin dia dieksekusi, bahkan sampai detik ini belum ada Keputusan Presiden menolak atau bagaimana,” tambah kuasa hukum Humprhey Ejike, Afif Abdul Qoyim, di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (31/7/2016) siang.

Adapun Kejakgung hanya mengeksekusi 4-14 terpidana mati, yakni Freddy Budiman (Indonesia), Cajetan Uchena atau Seck Osmane (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria), dan Michele Titus Igweh (Nigeria). Sedangkan 10 terpidana mati yang ditunda adalah Ozias Sibanda (Zimbabwe), Obina Nwajagu (Nigeria), Fredderikk Luttar (Zimbabwe), Agus Hadi (Indonesia), Pujo Lestari (Indonesia), Gurdip Singh (India), Okonkwo Nongso Kingsley (Nigeria), Zulfiqar Ali (Pakistan), Merry Utami (Indonesia), dan Eugene Ape (Nigeria).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya