SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

JOGJA – Pembangunan hotel di Kota Jogja bakal dibatasi. Pembangunan hotel harus mendapat pertimbangan dari otoritas Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY.

Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group

Wakil Ketua PHRI DIY Herman Toni usai diskusi kepariwisataan di DPRD DIY, Kamis (16/2/2012) menyatakan, saat ini jumlah kamar hotel di DIY yang mencapai 7.000 unit sudah cukup menampung wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Pembangunan hotel secara besar-besaran dengan mengobral tarif penginapan menurutnya justru mematikan usaha perhotelan dan restoran lainnya yang tak dapat bersaing.

Ia mengklaim, dari hasil pembicaraan lembaganya dengan Pemkot, pemerintah bakal membuat SK mengenai syarat pembangunan hotel di Jogja yang salah satu pinnya harus mendapat pertimbangan dari PHRI. “Meski tidak membatasi secara tegas, dengan syarat ada pertimbangan tersebut Pemkot otomatis punya beban moral,” kata Herman Toni.

Dikatakannya, tingkat hunian hotel di DIY pada hari biasa belum sampai 60%. Terkecuali saat musim liburan atau long weekend tingkat hunian baru penuh. Karena itu pula menurutnya belum layak adanya pembangunan atau penambahan kamar hotel. “Kecuali kalau sudah lebh dari 60% mungkin perlu adanya pembangunan, sekarang 60 persen saja belum sampai. Kalau liburan atau long weekend itukan setahun hanya berapa kali tidak sering,” tuturnya.

Ia menceritakan, kerap terjadi persaingan tak sehat dalam industri jasa ini. Kadang pemilik modal besar membangun banyak kamar hotel dengan mengobral tarif murah sehingga usaha lainnya mati. Kendati demikian Herman mengaku pihaknya belum mendata berapa jumlah usaha hotel yang kolap akibat persaingan tak sehat ini. “Kami memang baru mengajukan pendataan. Tapi kalau kita mau lihat saja, contohnya di Jalan Kaliurang, sekarang kan banyak restoran-restoran juga hotel, tapi enggak berumur lama. Sebulan buka sudah tutup, contohnya itu, karena saat ini sudah banyak,” ungkapnya.

Di sisi lain, jumlah kunjungan wisatawan ke Jogja khsusnya wisatawan asing saat ini tak sebanyak periode 1998 yang menjacapi 300.000 orang per tahun. Pada 2010 misalnya wisatawan asing yang masuk tak sampai 160.000-an wisatawan. Ia menilai, DIY belum mampu mengembalikan kondisi sekarang seperti saat 1998. Masalahnya, kunjungan wisatawan mancanegara ke Jogja sangat tergantung Bali karena biasanya sudah satu paket dengan Bali. Juga karena layanan penerbangan yang hanya satu kali sehari.

Sementara itu dalam diskusi kepariwisataan yang digelar forum wartawan parlemen DIY, peneliti dari Pusat Studi Pariwisata UGM, Hendrie Adji Kusworo mengatakan, paradigma pariwisata DIY saat ini hanya berorientasi ekonomi atau industri dan bukannya secara keseluruhan.

Pariwisata menurutnya juga harus mengajak masyarakat berperan serta menjadi wisatawan yang baik tak hanya tuan rumah. Ia mencontohkan di Jepang, sejak kecil anak-anak sudah bergelut dalam kepariwisataan dan menjadi guide. Mereka bahkan juga telah berwisata ke berbagai negara. “Ini pilihan kita apa hanya sekadar industri atau juga aspek lain. Kalau mau konsisten pilihannya tak hanya soal industri tapi juga hubungan antara turis dengan kita,” ungkapnya.

JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya