SOLOPOS.COM - Ilustrasi jamu gendong (JIBI/Harian Jogja/SOLOPOS)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Iskandar)

SUKOHARJO — Sebanyak 60 persen bahan baku pembuatan jamu di Indonesia ternyata masih berasal dari luar negeri atau impor. Hal itu terungkap dalam seminar jamu sebagai brand Indonesia di Wisma Boga Sukoharjo, Kamis (22/11/2012).

Promosi BRI Catat Setoran Tunai ATM Meningkat 24,5% Selama Libur Lebaran 2024

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, mengatakan dulu bahan baku obat tradisional cukup mudah didapat. Hampir sebagian besar warga Indonesia, sambungnya, bisa mengambil bahan-bahan obat radisional dari halaman sekitar rumah. Namun saat ini hal itu sulit untuk didapat. “Bahkan survei terakhir menyebutkan angka bahan baku impor mencapai 70 persen,” ujar Maura, Kamis siang.

Ia mengatakan dari hasil surve itu, pemerintah harus mengambil sikap agar bahan baku jamu Indonesia tidak impor lagi, melainkan memakai bahan baku dari dalam negeri. Maura justru mensinyalir bahan baku yang bisa dibuat jamu dari Indonesia, justru diekspor ke luar negeri. “Sebenarnya hal itu tak masalah, asal harus ada nilai tambahnya. Misal kulit buah manggis maupun sirsak yang bisa dibuat untuk bahan baku jamu,” ungkapnya.

Ke depan pihaknya akan bekerjasama dengan Kementerian Pertanian untuk menanggulangi ketergantungan bahan baku impor. Jangan sampai bahan baku jamu bernasib seperti kedelai, yakni lebih banyak impor daripada impor. “Kami juga akan menggali seberapa besar perbandingan nilai impor dan ekspor bahan baku jamu ini,” paparnya.

Selain itu, para pengusaha jamu juga harus memiliki konsep yang jelas dalam mengembangan jamu. Para pengusaha industri jamu harus mampu bersaing dengan produk luar dan harus lebih inovatif untuk bersaing dengan produk lain.

Pihaknya juga berharap adanya sinergi yang efektif antara akademisi, pelaku bisnis jamu dan pemerintah. Hal itu dilakukan agar jangan sampai negara lain mengklaim bahwa jamu adalah produk mereka.

Menurut Mauri, 50 persen penduduk Indonesia mengonsumsi obat tradisional. Tapi dari 50 persen itu, hanya 4 persen yang mengonsumsi obat tradisional secara teratur. “Jadi masih banyak potensi untuk dikembangkan, karena yang 45 persen sisanya itu hanya kadang-kadang mengonsumsi jamu,” terang Mauri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya