SOLOPOS.COM - Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan kepada wartawan terkait statusnya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/7/2017). (JIBI/Solopos/Antara/M Agung Rajasa)

KPK disarankan menyelesaikan kasus Setya Novanto dan mengirimnya ke pengadilan jika tidak ingin kalah di praperadilan.

Solopos.com, JAKARTA — Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menilai jika KPK hendak menetapkan status tersangka kepada Setya Novanto, maka kasus itu harus segera diselesaikan dan dilimpahkan ke pengadilan.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting mengatakan pada sidang putusan pekan lalu, terdapat dua kejanggalan yang dilihat. Pertama, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara.

“Kejanggalan lainnya, penasehat hukum Setya Novanto yang membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket untuk menyelidiki KPK, seharusnya dapat menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan praperadilan tersebut,” ujarnya, Minggu (1/10/2017).

Menurutnya, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4/2016 memang menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Namun, peraturan itu memberi kesempatan bagi badan yudikatif itu melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan.

“Begitu juga Komisi Yudisial dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim. Oleh karena itu, MA dan KY semestinya memberikan respons terhadap putusan praperadilan ini,” lanjutnya.

Dari sisi substansi, paparnya, salah satu pertimbangan yang menarik perhatian adalah saat hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain.

Dia menilai pertimbangan ini bermasalah karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja. Bila logika ini digunakan, menurutnya tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain.

Terkait pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Ketua DPR itu tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan. Hal tersebut menurut hakim menyimpang dari Pasal 44 UU KPK.

Padahal jika dikaji lebih mendalam, penetapan Novanto sebagai tersangka dilakukan melalui pengembangan kasus dengan kesimpulan telah diperoleh minimal dua alat bukti yang sah untuk menetapkan mantan Ketua Fraksi Partai Golkar itu sebagai tersangka.

Meski hakim mengabulkan sebagian permohonan Setya Novanto, menurutntya, putusan itu tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana. Karena itu, KPK berpeluang menetapkan Novanto sebagai tersangka.

“Bila KPK menetapkan SN kembali sebagai tersangka, semestinya KPK segera merampungkan pemeriksaan dan melimpahkan perkara tersebut untuk segera disidangkan,” ujarnya.

Dalam persidangan, hakim Cepi Iskandar mengatakan surat perintah penyidikan (sprindik) dengan tersangka Setya Novanto yang dikeluarkan pada 17 Juli 2017 tidak menunjukkan proses penyelidikan terhadap Novanto.

Di samping itu, bukti yang diajukan KPK bukan berasal dari tahap penyelidikan dan penyidikan untuk perkara Novanto, melainkan dalam perkara dengan tersangka Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Menurut KPK, hal itu masih bertalian dengan kasus korupsi e-KTP.

Cepi menilai, hal ini tidak sesuai dengan prosedur penetapan tersangka dalam Undang-udang (UU) No. 30/2002 maupun prosedur standar yang ditetapkan oleh KPK. Dengan demikian, hakim memutuskan bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Novanto yang diterbitkan pada 18 Juli 2017 dianggap tidak berlaku dan memerintahkan KPK agar penyidikan terhadap Novanto dihentikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya