SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Harga obat yang mahal di Indonesia telah diinvestigasi KPPU. Pemerintah punya opsi untuk menekan harga obat.

Solopos.com, JAKARTA — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melaporkan hasil kajian dan investigasi terkait permasalahan mahalnya harga obat di Indonesia kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Promosi Bertabur Bintang, KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2024 Diserbu Pengunjung

Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf, menuturkan dalam kajian dan investigasi obat, KPPU fokus untuk mengidentifikasi regulasi yang perlu direvisi untuk menekan harga obat. “Kami mendaftar jumlah regulasi, baik itu perpres, permenkes, kemudian peraturan pemerintah yang lain yang selama ini menjadi concern bagi industri obat untuk menurunkan harga,” ujarnya seusai menyampaikan laporan kepada Wapres Kalla di kantornya, Senin (14/12/2015).

Salah satu perubahan di level regulasi yang diusulkan KPPU adalah revisi regulasi yang mendeskripsikan tiga jenis obat yang dikenal di Indonesia, yakni obat paten, obat generik bermerek, dan obat generik. “Nah, harusnya kita itu hanya dua jenis, satu paten, dua generik. Ngapain lagi ada obat generik bermerek?” tuturnya.

Menurut Syarkawi, keberadaan obat generik bermerek merugikan konsumen karena harga eceran tertingginya tidak diatur oleh pemerintah, tetapi ditentukan sendiri oleh produsen obat. KPPU merekomendasikan agar pemerintah menerbitkan regulasi tentan HET obat generik bermerek.

Selain itu, KPPU merekomendasikan revisi Permenkes yang mengatur tentang kewajiban bagi apoteker untuk memberikan pilihan obat kepada pasien. Dengan revisi itu, pasien mendapatkan tawaran untuk memilih antara obat generik, generik bermerek, atau obat paten sesuai resep dokter.

Syarkawi menambahkan Indonesia berpeluang menurunkan harga obat dengan memanfaatkan fleksibilitas yang diperkenankan oleh World Trade Organization (WTO) dalam bentuk Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Fasilitas tersebut, jelasnya, merupakan kesempatan untuk memproduksi obat-obat paten atas nama kepentingan nasional untuk pemanfaatan oleh pemerintah sendiri.

“Ini yang dilakukan oleh India, Cina, Thailand, dan kemudian ada sejumlah negara yang telah memanfaatkan itu. Indonesia sebenarnya sudah pernah memanfaatkan TRIPS flexibility itu pada 2002, tetapi masih terbatas pada dua jenis penyakit, yaitu untuk HIV/AIDS dan hepatitis,” lanjutnya.

Ketua KPPU mencontohkan dengan memanfaatkan TRIPS Flexibility, India mampu memproduksi obat hepatitis C seharga US$10/butir. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan harga obat serupa yang diproduksi di Amerika Serikat, yakni seharga US$1.000/butir.

Ke depan, pungkas Syarkawi, KPPU berharap Presiden dan wapres memanfaatkan fasilitas TRIPS secara maksimal, sehingga obat-obat paten yang harganya sangat mahal itu bisa diproduksi atas nama kepentingan nasional dan untuk penggunaan oleh pemerintah. Untuk mengakomodir fasilitas tersebut, diperlukan perubahan Perpres yang terbit pada 2002.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya