SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

JOGJA—Mayoritas (90%) ternak sapi dipelihara oleh para peternak rakyat dengan modus usaha sambilan, sehingga sapi dijual ketika peternak membutuhkan uang.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Akibatnya, kata Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ali Agus, jika mereka tidak membutuhkan uang, sapi tidak akan dijual. Fakta ini dapat dilihat di pasar-pasar hewan yang relatif sepi pada musim tertentu (awal musim tanam) dan melimpah pada kurun waktu tertentu seperti tahun ajaran baru saat anak masuk sekolah.

Menurut Ali, sejak lebih dari enam bulan terakhir ini, tepatnya pasca-Lebaran tahun lalu, harga daging sapi merangkak naik dari Rp60.000/kg dan puncaknya hingga minggu ini mencapai lebih dari Rp90.000/kg. Harga ini merupakan harga tertinggi di dunia karena harga rata-rata daging sapi yang hanya berkisar Rp38.000-Rp72.000 /kg.

Ali menilai melambungnya harga daging sapi disebabkan tidak seimbangnya antarasuplai dan permintaan daging sapi tersebut. Hal ini terjadi karena menurut Ali Agus ada asumsi yang tidak akurat terhadap prediksi potensi produksi daging sapi dalam negeri sehingga over estimate, atau terlalu rendahnya kuota impor atau kedua asumsi tersebut tidak akurat.

“Faktanya mencari sapi lokal tidak mudah dan tidak adanya stok yang siap untuk dipotong dan harganyapun juga tinggi. Pemerintah telah gagal dalam berperan menjaga dan mengatur keseimbangan suplai dan demand daging sapi,” kata Ali dalam rilis yang diterima Harian Jogja, Jumat (8/2/2013).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya