SOLOPOS.COM - Ilustrasi properti Jawa Timur.(Surabaya.bisnis.com)

Harga BBM yang naik mengakibatkan harga properti naik 10%.

Harianjogja.com, JOGJA—Kebijakan pemerintah menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan harga pasar merugikan sebagian sektor industri.

Promosi Jelang Lebaran, BRI Imbau Nasabah Tetap Waspada Modus Penipuan Online

Mulai 28 Maret 2015, pemerintah menaikan harga premium untuk Jawa Madura dan Bali (Jamali) menjadi Rp7.400 per liter atau naik sebesar Rp500 per liter dibandingkan harga pada 1 Maret 2015 sebesar Rp6.900 per liter. Adapun untuk daerah penugasan di luar Jamali ditetapkan sebesar Rp7.300 per liter. Sementara, solar bersubsidi naik dari Rp6.400 per liter menjadi Rp6.900 per liter.

Pengusaha kesulitan menetapkan rencana penganggaran, khususnya untuk biaya produksi dan operasional. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah bisnis konstruksi dan properti. Andreas Budi Susetya, pengusaha konstruksi pemilik PT Kusuma Yogyakarta mengakui fluktuasi harga BBM membuatnya kesulitan menghitung pengeluaran untuk bahan baku, seperti batu dan pasir.

“Harga batu dan pasir tergantung transportasi,” ucapnya, Jumat (3/4/2015).

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Nur Andi Wijayanto mengatakan harga properti kemungkinan naik menyusul kenaikan harga BBM.

“Kenaikan harga BBM kan mencapai Rp500, jadi tingkat kenaikan harga propertinya bisa mencapai 10 persen,” ucapnya.

Afdol Mustaqin, kontraktor pemilik Cipta Karya Art Stone terpaksa harus menaikkan harga perumahan yang sedang ia garap di DIY.

“Untuk tipe 60, harga sebelumnya Rp450 juta sekarang Rp474 juta,” kata Imus, panggilannya.

Ia terpaksa menaikkan harga karena mengikuti harga material bangunan yang kian meningkat. Harga pasir yang sebelumnya Rp500.000 per rit kini naik Rp50.000. Sama halnya dengan harga batu. Kenaikan harga material juga memicu kenaikan upah tukang.

“Tukang batu yang biasanya Rp60.000 per hari sekarang Rp65.000. Jadi selain material, unsur lain juga ikut naik maka dari itu harga per unitnya pun harus dinaikkan,” kata dia.

Ketidakstabilan harga BBM itu juga membuat bingung Organda DIY. Pengusaha kesulitan dalam menentukan tarif angkutan umum.

“Biasanya kalau harga [BBM] naik, kami juga ikut naik. Tapi kalau naiknya tanggung, hanya Rp500 dan masih berubah-ubah, bingung jadinya,” kata pemilik Yesterke Trans Bantul, Heri Nugroho, Jumat.

Perubahan harga BBM yang naik turun seperti ini membuatnya mengalami kerugian hingga 50%. Heri mengaku, ketika harga BBM belum naik turun, setiap bulannya ia selalu mengoperasikan 15 busnya. Namun setelah harga BBM labil dalam jangka waktu yang tidak lama seperti sekarang ini, maksimal hanya delapan bus yang beroperasi.

“Bulan ini ada tanggal merah saja sepi banget,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya