SOLOPOS.COM - Ratusan guru mengikuti kegiatan Ngkaji Pendidikan bersama komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di Auditorium SMKN 8 Solo, Sabtu (24/2/2024). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO — Ratusan guru mengikuti kegiatan Ngkaji Pendidikan bersama komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di Auditorium SMKN 8 Solo, Sabtu (24/2/2024). Dalam forum itu para guru diajak menghadirkan ruang ketiga di sekolah.

Founder GSM sekaligus pemateri pada acara itu, Muhammad Nur Rizal, menjelaskan ruang ketiga yang dimaksud adalah interaksi atau berdialog antarsesama. Dia berharap ruang ketiga tersebut ada di sekolah, sehingga sekolah tidak hanya sebagai tempat belajar formal.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Ini dalam rangka membangun berpikir filsafat dalam kaitan pendidikan, harapan guru-guru kita itu bisa berpikir secara fundamental, bagaimana merefleksikan, mengevaluasi. Harapannya gurunya bahagia akan berdampak bagi interaksi antara guru dan muridnya,” kata dia kepada wartawan selepas acara, Sabtu.

Dia mengatakan seharusnya pendidikan yang dijalankan di sekolah bisa menjawab tantangan masa depan. Selama ini, menurutnya, lulusan sekolah masih memiliki pemahaman yang lemah.  

“Jadi pendidikan tidak hanya menghasilkan lulusan, tetapi lemah pemahaman. Pendidikan harusnya lebih bisa menjawab dan menghadapi kenyataan hidup dan tantangan masa depan,” katanya. 

Dia mengkritik pemahaman bahwa pendidikan yang baik harus dengan membangun infrastruktur yang megah. Padahal menurutnya lebih dari itu, esensi pendidikan adalah adanya ruang interaksi atau dialog yang setara.

Rizal mengaku sedang mengupayakan membangun kecerdasan berpikir secara mendasar. Bukan sekedar berkutat pada infrastruktur semata. Menurutnya dengan mengusung paradigma ruang ketiga itu pendidikan di sekolah bisa diterapkan.

“GSM ini membangun kecerdasan berpikir secara fundamental bukan infrastruktur, sehingga walaupun sekolahnya mungkin tidak punya kurikulum, tidak mempunyai nilai akademik, tetapi mampu menciptakan siswanya yang bisa mengubah keadaan dirinya sendiri,” kata sambung doktor lulusan luar negeri ini. 

Rizal juga menyoroti soal stagnasi pendidikan Indonesia yang sudah terjadi sejak lama meski sudah berkali-kali ganti kurikulum. Hal itu bisa terjadi karena banyak faktor, salah satunya adalah sekolah terjebak pada kesibukan administrasi belaka, alih-alih mengembangkan pembelajaran.

Kondisi tersebut juga yang membuat skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia terus turun. Seharusnya sekolah menyudahi tradisi formalitas yang terlalu kaku untuk menciptakan pendidikan yang lebih inovatif.

“Kualitas PISA kita di angka 620-an, kita mengalami penurunan 10-15 poin. Jadi yang dilakukan adalah membongkar tradisi formalisme. Kita masih terjebak di masyarakat formalis,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya