SOLOPOS.COM - Empu Intan saat mengisi acara makan malam dan aksi tempa keris di Museum Keris Nusantara Solo 2023 lalu. (Istimewa/Museum Keris Nusantara).

Solopos.com, SOLO — “Aku bener-bener belajar keris dari nol. Aku ingin membuktikan bahwa perempuan itu bisa loh di dunia perkerisan.”

Optimisme itu disampaikan perempuan muda yang saat ini mengajar di Program Studi (Prodi) D4 Senjata Tradisional Keris, Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Intan Anggun Pangestu, 30.

Promosi Direksi BRI Kompak Borong Saham BBRI, Siratkan Optimisme Kinerja Perusahaan

Ia merupakan mahasiswa angkatan pertama prodi yang didirikan 12 tahun silam berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersurat pada SK. No. 147/E/O/2012.

Tepatnya empat tahun setelah ditetapkannya keris sebagai warisan budaya tak benda oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Pada 2012 lalu, dengan berbagai pertimbangan, Intan memutuskan daftar Prodi D4 Senjata Tradisional Keris, ISI Solo.

Sebagai lulusan SMK Jurusan Pariwisata, ia tak memiliki modal pengetahuan soal seni, apalagi keris. Ia juga tak lahir dari keluarga seniman.

Masa kecil hingga remajanya jauh dari diskursus kesenian. Intan remaja kemudian berangkat dari Blitar ke Solo bermodal keyakinan. Kala itu, ia membawa mimpi besar yakni harus memperoleh pendidikan tinggi.

Saat mengikuti masa orientasi di kampus untuk kali pertama, Intan kaget dengan program studi kuliah yang dia ambil. Kala itu, hanya ada tiga mahasiswa. Ia menjadi satu-satunya mahasiswa perempuan.

Belum lagi ia harus belajar ragam senjata tradisional, yakni aneka rupa hulu atau jejeran (pegangan) keris. Mulai dari cecekan, mendhak, selut, dan lainnya.

Ada juga warangka (sarung keris), pendhok, luk (kelokan pada bilah keris), dan detail anatomi atau ricikan keris lainnya. Gejolak mulai muncul di pikiran.

Ia khawatir pada masa depan karier hingga pesimisme seorang perempuan bisa menjadi ahli di bidang keris. Kegelisahan tersebut sempat membuatnya ingin keluar kuliah.

“Semester tiga dan lima [muncul gejolak kuliah di Prodi Keris]. Tapi aku harus tanggung jawab, aku coba merenung lama untuk meyakinkan di sinilah [perkerisan] aku harus total, aku yakin bisa. Tahun ketiga kuliah mulai bangkit,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di kawasan Kampus II ISI Solo, Rabu (29/5/2024) sore.

Perenungan itu bahkan membuat Intan lebih bersemangat untuk belajar. Ia berkenalan dengan komunitas dan para eksper atau ahli perkerisan di Solo.

Di situlah ia mulai yakin dan ingin membangun identitasnya sebagai perempuan satu-satunya yang kuliah di Prodi Senjata Tradisional Keris.

Setelah lulus sarjana, Intan langsung melanjutkan kuliah Pascasarjana di ISI Solo. Saat mengerjalan tesis dan tugas akhir, ia fokus pada senjata tradisional tombak.

Tugas akhirnya yakni tentang tombak godhong gedhang (daun pisang), sedangkan tesisnya berjudul Tombak Brata: Motif Tombak Pamor dan Tinatah Terinspirasi Ajaran Hastabrata.

Baginya, senjata tombak sangat menarik untuk dieksplorasi. Mengingat, jarang sekali penggemar atau komunitas tosan aji yang membahas tombak secara khusus.

Tema tentang tombak justru semakin memperkuat identitasnya sebagai perempuan yang ahli dalam senjata tradisional dan keris.

Ia kemudian ingin mengkaji lebih dalam tentang tombak secara akademis, sebab selama ini belum banyak literasi atau kajian tentang tombak.

“Tombak lebih menarik untuk dieksplorasi. Juga literasi tentang tombak masih sedikit ya, jadi aku ingin mengangkat nilai dan makna tombak,” katanya.

Kiwari, Intan menjadi generasi muda yang ingin memberi warna baru dalam dunia perkerisan.

Begitu juga dengan ISI Solo sebagai satu-satunya perguruan tinggi di dunia yang mempunyai prodi Senjata Tradisional Keris, memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bidang keris.

Sejak 2022 Intan merupakan dosen perempuan satu-satunya yang mengampu mata kuliah praktik perkerisan. Tiap pekan selalu ada jadwal mengajar di besalen atau studio produksi keris milik ISI Solo.

“Walau pun saya merasa belum pantas disebut empu ya, lebih baik seniman atau pengajar saja,” kata perempuan 30 tahun itu.



Babat alas sebagai perempuan pengkaji senjata tradisional tak selalu mudah. Tak hanya harus piawa secara pribadi.

Sebagai pengajar, ia punya tanggungjawab besar regenerasi. Intan harus bisa meluluskan mahasiswa yang mampu membuat bilah senjata tradisional dengan tempa pamor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya