SOLOPOS.COM - Ilustrasi buruh menolak PHK (JIBI/Solopos/Antara)

Ekonomi Indonesia yang melambat dijadikan alasan sejumlah industri untuk melakukan PHK besar-besaran.

Solopos.com, SEMARANG — Sebanyak 1.000-an buruh pabrik di Jawa Tengah hingga saat ini telah dikeluarkan dari pekerjaan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan karena dampak perlambatan ekonomi Indonesia.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi menyebutkan PHK menimpa sekitar 1.000-an karyawan. Mayoritas berasal dari industri tekstil dan industri besi baja.

Menurutnya, pengusaha sudah berusaha untuk mempertahankan nasib karyawan agar tidak terjadi PHK besar-besaran pada tahun ini. Namun faktanya, kondisi ekonomi domestik yang juga dialami ekonomi global membuat pengusaha angkat tangan.

Frans mengakui pengusaha tidak bisa berdaya saing karena dampak rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat serta melonjaknya harga bahan baku komoditas tertentu akibat harga bahan bakar minyak (BBM) tidak stabil. “Tahun ini cukup berat bagi pengusaha. Apalagi melihat kondisi ekonomi negeri kita seperti ini. Jalan satu-satunya ya PHK massal,” papar Frans kepada Bisnis/JIBI, Senin (6/7/2015).

Pihaknya mengakui sejumlah pengusaha lokal tidak bisa berdaya saing menghadapi serbuan produk impor yang membanjiri mal dan pasar-pasar tradisional. Akibatnya, lanjut Frans, para pengusaha terpaksa menghentikan semua proses produksi alias gulung tikar.

Perusahaan yang paling terdampak yakni garmen dan industri tekstil. Di samping itu, industri padat karya banyak mengerem produksi dibandingkan dengan menggenjot produksi kendati mendekati Lebaran. “Bayangkan saja. Pengusaha lokal impor bahan baku dengan harga yang sudah mahal. Sementara, di sini ada barang serupa dengan harga murah, pasti sini kalah,” terang dia.

Kendati tidak sedikit karyawan di-PHK, paparnya, pengusaha berkomitmen untuk memberikan pesangon sesuai dengan kemampuan perusahaan. Pasalnya, tidak semua perusahaan mampu memberikan uang pesangon ditengah kepailitan usahanya.

“Kami mengimbau kepada pengusaha yang melakukan PHK untuk memberikan pesangon kepada karyawan,” ujarnya. Frans mendesak kepada pemerintah pusat untuk secepatnya merealisasikan program pembangunan infrastruktur guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Dia mengatakan para pengusaha akan mem-PHK lebih banyak lagi apabila pemerintah turun tangan mengatasi masalah ini. “Banyak dana APBN dan APBD belum terserap maksimal. Imbasnya, program pemerintah seolah jalan ditempat,” terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng Eko Suyono berpendapat bahwa kondisi PHK besar-besaran tidak semata karena pengaruh ekonomi domestik. Dia mengatakan kondisi seperti ini bisa dimungkinkan karena pengusaha enggan menaikkan upah buruh serta meminta upah murah kepada para buruh.

“Ini bisa jadi akal-akalan pengusaha untuk menekan upah murah. Kemudian mereka beralasan PHK dilakukan karena pengaruh ekonomi melambat,” paparnya.

Secara umum, dia mencermati perekonomian di Jateng tidak lesu. Hal ini seiring dengan relokasi pabrik garmen skala besar di Boyolali yang merekrut 1.600 orang. Eko mempertanyakan komitmen Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dalam memperjuangkan nasib buruh sebab kebijakan yang diambil tidak berpihak kepada buruh, semisal dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2014 yang rendah.

UMK di Jateng, menurut Eko bahkan paling rendah dibandingkan provinsi lain. UMK Di Jateng paling tinggi di Kota Semarang yakni Rp1,6 juta, sedang di Surabaya dan Jakarta sudah di atas Rp2 juta. “Selama hampir dua tahun memimpin Jateng, kebijakan Ganjar [Pranowo] tidak berpihak kepada buruh,” terang Eko.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo membenarkan adanya ancaman PHK besar-besaran yang menimpa para buruh. Kendati demikian, pihaknya belum menyebut jumlah karyawan yang di-PHK oleh perusahaan.

Politisi PDIP ini hanya mengakui ada perusahaan yang bertahan di tengah kelesuan ekonomi Indonesia. Ada pula, perusahaan yang kolaps dan terpaksa mem-PHK karyawannya. Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Jateng pada triwulan I/2015 hanya 5,5% atau melambat dibandingkan dengan triwulan IV/2014 yang mencapai 6,2%.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama bersumber dari penurunan konsumsi pemerintah yang sesuau dengan pola musimannya.

Kendati demikian, BI memprediksi ekonomi wilayah berpenduduk 33,5 juta jiwa ini bakal bertumbuh pada triwulan II/2015 diangka 5,7%. Kepala Perwakilan BI Jateng Iskandar Simorangkir mengatakan konsumsi meningkat seiring dengan datangnya Ramadan dan Idul Fitri pada akhir triwulan II.

Sedangkan investasi diperkirakan meningkat didorong oleh realisasi proyek pemerintah. Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi membaik berdasarkan peningkatan dari konsumsi baik swasta maupun pemerintah dan investasi. “Ekonomi tumbuh seiring dengan kinerja tiga sektor utama yang diperkirakan tumbuh membaik. Kami perkirakan triwulan II antara 5,5%-5,9%,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya