SOLOPOS.COM - Ilustrasi KPK (Solopos)

Solopos.com, JAKARTA – PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau Telkom menghormati penyidikan pengadaan barang dan jasa fiktif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk mewujudkan badan usaha milik negara (BUMN) yang bersih.

VP Corporate Communication Telkom Andri Herawan Sasoko mengatakan Telkom mendukung upaya penanganan dugaan tindak pidana korupsi yang saat ini tengah ditangani KPK.

Promosi BRI Peduli Salurkan Bantuan CSR di SDN 01 dan 02 Gunung Geulis Bogor

“Manajemen Telkom berkomitmen menjunjung transparansi dan bersikap kooperatif dalam proses hukum yang sedang berjalan sebagai implementasi good corporate governance (GCG) dan wujud program bersih-bersih BUMN,” ujar Andri saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu (22/5/2024).

Andri menyebut penyidikan tersebut merupakan tindak lanjut temuan manajemen dari hasil audit internal yang telah dilakukan perusahaan.

Lebih lanjut, proses hukum yang berjalan hingga saat ini tidak mengganggu operasional bisnis dan kinerja perusahaan.

Sebelumnya, tim penyidik KPK melakukan penggeledahan kantor dan lokasi terkait penyidikan dugaan korupsi bermodus pengadaan barang dan jasa fiktif di Telkom Group, yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah.

“Meliputi enam rumah kediaman dan empat kantor, di antaranya Kawasan Telkom Hub, Gedung Telkom Landmark Tower di Jalan Jend Gatot Subroto Kav 52, Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, dan Menara MT Haryono, Jakarta Selatan,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Ali menerangkan penggeledahan tersebut dilakukan pada periode April 2024 dalam pengumpulan alat bukti pada tahap penyidikan terkait dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di PT Telkom.

Dalam kegiatan tersebut, tim penyidik juga menemukan sejumlah alat bukti yang langsung disita untuk dianalisis dan dikonfirmasi kepada saksi-saksi, para tersangka termasuk kepada para ahli dalam rangka melengkapi berkas perkara penyidikan.

Ali menerangkan bahwa modus dugaan tindak pidana korupsi tersebut adalah pengadaan barang dan jasa fiktif. Meski demikian, detailnya belum bisa disampaikan demi kepentingan penyidikan yang tengah berjalan.

“Pengadaan ini terindikasi fiktif, terjadi pengeluaran uang negara secara melawan hukum dengan perhitungan sementara mencapai ratusan miliar rupiah,” ujarnya.

Tim penyidik KPK juga telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka dalam perkara tersebut. Namun, KPK belum bisa mengungkapkan siapa saja pihak sebagai tersangka.

Dibayangi Ketakutan

Pada kesempatan terpisah, pakar hukum Hikmahanto Juwana mengatakan eksekutif perusahaan khususnya di BUMN akan sulit melakukan terobosan apabila selalu dibayang-bayangi ketakutan bila keputusan bisnisnya dikriminalisasi dan merugi.

“Jadi, dia [direksi BUMN] datar-datar saja, tak mau ambil risiko. Direksi ini bukannya [menjadi] risk taker, tapi risk averter. Dia menghindari risiko,” kata Hikmahanto dalam acara Katadata Forum: Bahaya Kriminalisasi Keputusan Bisnis di Jakarta, Rabu.

Akibatnya, tambahnya, BUMN kesulitan mencetak dividen yang signifikan serta melakukan berbagai inovasi dan ekspansi yang dibutuhkan.

Namun, Guru Besar Universitas Indonesia itu juga menegaskan jika direksi terbukti melakukan penyelewengan, tetap harus ditindak tegas.

Menurut dia, kerugian yang dialami merupakan bagian dari risiko bisnis dan apabila keputusan bisnis dikriminalisasi, maka BUMN tidak dapat berkembang lantaran direksi dibayang-bayangi ketakutan akan hukuman pidana.

“Direksi itu bukan peramal, dia tidak tahu kalau sudah dilakukan berbagai simulasi, bahkan profesional-profesional dilibatkan, [kemudian] dia ambil keputusan, tapi tiba-tiba perang, atau tiba-tiba harga rupiah melonjak, atau misalnya terjadi Covid. Dia tak bisa meramal,” ujar Hikmahanto.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Feri Wibisono sepakat bahwa kerugian perusahaan bukanlah tanggung jawab direksi.

Ia menyebut kerugian perusahaan tidak menjadi tanggung jawab bagi direksi ataupun pejabat sepanjang kerugian itu dilaksanakan berdasarkan keputusan dalam kewenangan.

“Keputusan itu dibuat dalam kewenangan, dilakukan tanpa ada benturan kepentingan dan sungguh-sungguh untuk kepentingan terbaik dari perseroan. Jadi, kalau kerugian itu timbul dan memenuhi business judgement rule, itu adalah kerugian kerugian bisnis. Tidak memiliki risiko hukum bagi yang bersangkutan,” kata Feri.

Sedangkan, ekonom senior Faisal Basri mengatakan kriminalisasi keputusan bisnis di BUMN terjadi karena buruknya penegakan hukum di Indonesia. Faktanya, lanjutnya, saat ini negara-negara yang makin maju atau sudah maju memiliki track record institusi yang bagus.

“Hampir mustahil Indonesia ekonominya bagus kalau institusinya buruk,” katanya.

Faisal juga menyinggung hal yang terjadi pada mantan Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dapat menimbulkan ketakutan bagi direksi untuk mengambil risiko bisnis.



“Terlepas dari [kasus] Karen, pokoknya sekarang direksi Pertamina tidak mau ambil risiko, takut [mengalami] seperti yang dialami Karen, ini fakta. Lihat saja sekarang lifting minyak tinggal 606.000 barel per hari,” ujarnya.

Karen didakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG). Karen dituding melakukan perjanjian kerja sama pengadaan gas secara sepihak dengan perusahaan asing yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,1 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya