SOLOPOS.COM - Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menyampaikan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di Jakarta, Selasa (31/1/2023). (Antara/Desca Lidya Natalia)

Solopos.com, JAKARTA–Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2022 melorot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021. Itu menempatkan Indonesia pada 110 dari 180 negara yang disurvei.

“CPI Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dibanding 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” kata Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers di Jakarta dikutip dari Antara, Selasa (31/1/2023).

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

TII merilis IPK Indonesia 2022 yang mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Dengan hasil tersebut, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Pada 2021, skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96.

Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23).

Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru (masing-masing 87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83) serta Swiss (82). Sementara posisi terendah diduduki Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), dan Venezuela (14).

“Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26,” ungkap Wawan.

Wawan menyebut ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia tersebut, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor serta hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun menjadi 35 dari 48 pada 2021.

Selanjutnya, IMD World Competitiveness Yearbook (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun lima poin dari 44 menjadi 39. Selain itu indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun menjadi 29 dari 32.

Sementara tiga indeks yang stagnan adalah Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47, Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33, dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37.

Selanjutnya ada dua indeks yang naik, yaitu World Justice Project–Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23 dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22.

“Sayangnya indeks yang naik 1-2 poin berpengaruh tidak besar, bandingkan dengan Political Risk Service yang turun 13 poin sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34. Saat ini jadi PR besar untuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, bagaimana menjaga PRS ini pada angka yang maksimal, sedangkan perubahan pada angka World Justice Project dan Varieties of Democracy juga tidak sedemikian rupa sehingga harus melakukan perubahan mendasar,” tambah Wawan.

Ia menyebut berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.

“Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?” ungkap Wawan.

Analisis lain adalah dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan.

“Jenis korupsi suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tapi juga risiko politik,” tambah Wawan.

Selanjutnya indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.

“Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022 kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum,” imbuh Wawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya