SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta–Komisi I DPR idealnya menangguhkan pembahasan Rancangan Undang Undang Rahasia Negara (RUU RN) karena dinilai tidak efisien dan diragukan berkualitas apabila hanya menyelesaikannya hanya dalam waktu dua bulan.

“Pasti banyak cacatnya bila DPR memaksakan memutuskan UU RN itu menjelang berakhirnya masa tugas pengabdian yang hanya tinggal dua bulan,” kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  Indonesia Nezar Patria, di Jakarta, Kamis.

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

Nezar tampil sebagai nara sumber dalam rangka menggali potensi ancaman RUU RN terhadap kebebasan pers kerja sama Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Dewan Pers, AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Beberapa nara sumber lainnya yang sudah dijadwalkan seperti Garin Nugroho (Dewan Pers) dan Imam Wahyudi ( IJTI) berhalangan hadir.

Apalagi, menurut Nezar, Komisi I DPR baru mengembalikan RUU tersebut kepada pemerintah untuk direvisi, pekan lalu, selanjutnya akan dibahas kembali pekan ini dengan informasi Agustus sudah diparipurnakan.

“Kami ragu dengan kinerja DPR yang tidak lagi maksimal menjelang berakhirnya masa tugas sehingga bila RUU RN dipaksanakan diputuskan menjadi UU disinyalir banyak cacatnya,” katanya.

Sementara Deputi Direktur Yayasan SET Agus Sudibyo mengemukakan, Komisi I DPR hendaknya tidak terjebak dengan kepentingan pemerintah yang cenderung  tumpang tindih dengan UU No:14/ 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).

“Pasti terjadi tumpang tindih antara UU No:14/2008 dan UU RN bila disahkan. Sedangkan dari segi anggaran terjadi pemborosan yang sebenarnya tidak perlu terjadi,” ujarnya.

Agus bahkan mensinyalir DPR tidak tanggap dengan kepentingan pemerintah yang terkesan memaksakan RUU RN segera dibahas dan disahkan menjadi UU.

“DPR akan ”terpasung” pengawasannya karena ruang lingkup rahasia negara sangat luas, elastis dan mengacu juga kepada ketentuan UU lain,” katanya.

Khusus untuk pers, Agus menjelaskan, pasti kebebasan yang baru dinikmati sekitar 10 tahun terakhir ini akan terancam kembali karena nanti mengalami kesulitan mengakses data ke lembaga pemerintah.

“Pers akan kesulitan mengakses data yang sebenarnya perlu disampaikan untuk diketahui masyarakat seperti dugaan kasus korupsi, pelanggaran Hak Azasi Manusia(HAM) dan lainnya,” ujarnya.
Ant/tya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya