SOLOPOS.COM - Ilustrasi Doa Orang Miskin (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Dul Muin melindungi tubuhnya dengan sarung dari serangan dingin pagi yang bergerimis. Tidak tahu lagi sudah berapa batang rokok yang ia isap.

Dul Muin melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima menit. Langit yang dibungkus awan hitam siap menumpahkan air dalam jutaan meter kubik per detik.

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

Setelah sebuah petir terdengar dahsyat menyambar sesuatu, Dul Muin menyuruh lima anaknya yang sedang bermain di halaman untuk segera masuk ke dalam. Dul Muin mengangkat kakinya, meletakkannya di meja.

Istri Dul Muin yang bernama Masniyatun berteriak dari belakang, “Enak-enakan kamu, ongkang-ongkang kaki kayak orang kaya saja. Apa kau tak tengok itu anakmu sudah lima? Mau makan apa mereka kalau kamu cuma duduk begini, Kak!”

Dul Muin langsung menoleh dan berkata, “Kamu tak usah risau begitu. Apa kau tidak percaya jika Allah menjamin rezeki semua hambanya. Dan setiap anak yang lahir membawa rezekinya sendiri.”

Masniyatun menggelengkan kepalanya, “Memang kau pikir Allah memberi rezeki pada orang yang kerjanya cuma duduk? Hah!”

Wajah istrinya terlihat kesal, keningnya berkerut seperti garis terombang-ambing. Dul Muin berusaha menenangkan istrinya, “Kau sudah tahu kalau saya cuma kuli. Kadang kerja kadang tidak. Kebetulan hari ini belum ada kerjaan. Bersabarlah, Insya Allah kita tetap bisa makan.”

Tetapi, perkataan Dul Muin tidak akan membuat istrinya hilang cemberut kecuali disodorkan selembar uang untuknya. Dul Muin merogoh saku bajunya, ditemukan selembar uang lima puluh ribu rupiah. Masniyatun tersenyum menerimanya.

“Pandai-pandailah berhemat,” kata Dul Muin.

“Uang segini kau suruh berhemat!” kata Masniyatun sambil mengibas-ngibaskan uang tersebut di depan suaminya. Dan kemudian ia berkata lagi, “Masih saja kau tidak sadar anakmu sudah lima, ditambah yang ada dalam perut.”

Masniyatun mengelus perutnya yang kian hari membesar. Dul Muin tersenyum. Hujan deras membasuh tanah. Tiba-tiba Masniyatun teringat obrolan bersama ibu-ibu sewaktu beli sayur di depan rumah kemarin. Mereka bilang Pak RT sedang menyalurkan bantuan berupa uang tunai dan sembako dari pemerintah.

“Kau dapat Tun?” tanya seorang ibu yang sedang membeli ikan.

“Tidak.” Masniyatun menjawabnya.

“Loh, kok bisa gak dapat. Padahal kau termasuk dalam golongan orang miskin yang wajib dibantu sama pemerintah.”

“Memangnya kau dapat?” Masniyatun bertanya.

“Saya bukan orang miskin, jadi tidak berhak menerimanya.”

Perempuan lainnya cepat menimpali, “Tapi si Halima dapat tuh. Padahal dia orang berkecukupan bahkan bisa dibilang orang kaya.”

“Halima sepupunya Pak RT itu ya?”

“Iya.”

“Cobalah kau tanya sendiri pada Pak RT, siapa tahu kau dapat bantuan itu, Tun.” “Lagi pula, Tun. Sudah tahu kau miskin masih aja rajin bikin anak.”

“Apa orang miskin tidak boleh bikin anak?” Masniyatun tersulut emosinya.

“Boleh-boleh saja. Tapi punya anak ya diurus, mulai pendidikannya, gizinya, tidak hanya bikin anak. Kalau kamu kaya sih terserah mau punya anak berapa, uang banyak gak masalah. Lah kamu itu orang miskin Tun.”

Bantuan Pemerintah

Masniyatun memang ingin menampar mulut perempuan di hadapannya itu, tapi ia urung karena hanya akan menambah masalah. Memang orang miskin seperti Masniyatun, semua hal digunjingkan, seolah-olah orang miskin tidak boleh ngapa-ngapain. Begini salah, begitu salah.

“Alhamdulillah meskipun saya banyak anak, saya bisa mengurus semua. Mereka semua saya sekolahkan. Dan Alhamdulillah lagi saya tidak sampai berutang ke tetangga untuk mengurus semua anak saya. Saya selalu berdoa pada Allah supaya saya tidak sampai berutang apa pun pada orang. Apa pernah saya pinjam uang pada kalian?”

Ibu-ibu itu jadi terdiam, menelan ludah. Masniyatun kemudian bertanya pada tukang sayur, apakah dirinya pernah berutang? Tukang sayur itu menggeleng.

Ibu-ibu semakin tercangkul hatinya sebab mereka yang mengatakan Masniyatun orang miskin, ternyata malah mereka yang sering berutang pada tukang sayur tersebut. Masniyatun melenggang pergi membiarkan mereka menelan kekesalannya sendiri.

Dul Muin yang mendengar cerita ini dari istrinya dibuat geleng-geleng kepala. Masniyatun memaksa suaminya untuk menemui Pak RT. Dul Muin disuruh menanyakan kenapa keluarganya tidak menerima bantuan yang jelas-jelas peruntukannya untuk orang miskin.

Ketika hujan mulai melambat, Dul Muin menembus gerimis. Lima menit kemudian Dul Muin sampai di rumah Pak RT. Kebetulan Pak RT sedang duduk di beranda rumah. Duduk berhadap-hadapan, Dul Muin langsung bertanya soal bantuan yang digelontorkan pemerintah melalui RT.

Dengan alasan ngawur dan mengatakan keluarga Dul Muin belum masuk data penerima bantuan sehingga tidak dapat bantuan tersebut, membuat Dul Muin tahu bahwa Pak RT berkata bohong. Namun, Dul Muin tak berdaya mendebat Pak RT.

“Apa Pak RT tidak tahu jika undang-undang mengamanatkan kewajiban pada negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar?”

“Tahu apa kau soal undang-undang, Dul.” Pak RT meremehkan mengingat Dul Muin tidak tamat SD.

“Saya tahu dari Kacong, anak saya yang sudah kelas II SMA itu Pak RT. Katanya ada pasal dalam undang-undang yang menyebutkan kewajiban negara memelihara orang miskin macam saya.”

“Lucu sekali kau Dul,” kata Pak RT sambil tertawa kecil.



“Apanya yang lucu Pak RT? Benar kan negara memang harus menjamin kehidupan warganya yang miskin seperti saya.”

“Negara itu siapa? Kau pikir negara itu orang. Apa kau tidak tahu?”

“Soal apa Pak RT?”

“Negara sendiri punya banyak utang. Bagaimana bisa negara menanggung kehidupanmu. Ada-ada saja kau, Dul.” Wajah Pak RT terlihat lucu saat mengucapkan kalimat ini.

“Kalau begitu negara juga miskin sama seperti saya.” Dul Muin menyahut seraya mendongakkan wajah dekat Pak RT.

“Saya saja sebagai RT tidak digaji, Dul.”

“Tapi…” Dul Muin menghentikan kelanjutan kalimatnya. Ia khawatir jika diteruskan akan menyinggung perasaan Pak RT. Kemudian Dul Muin dan Pak RT sama-sama saling lempar senyum. Dul Muin pamit pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Setibanya di rumah, istri Dul Muin langsung menyergap dengan pertanyaan, kapan Pak RT mau memberinya bantuan. Dul Muin menceritakan semua yang terjadi di rumah Pak RT.

Masniyatun hanya bisa menghela napas panjang. Masniyatun bilang pada suaminya untuk tidak lagi bertanya soal apapun pada Pak RT. Ia sudah tidak ingin berharap banyak menerima bantuan dari pemerintah.

“Walaupun miskin kita punya harga diri,” katanya seraya melangkah masuk ke dalam rumah.



Dul Muin memegang perutnya yang dicekik lapar. Dul Muin ingin makan, tapi melihat lima anaknya makan dengan lahap dan sepertinya semua makanan di meja akan habis, maka Dul Muin menahan perutnya yang keroncongan. Betul saja tidak ada sebutir nasi pun tersisa.

Sampai besok hari Dul Muin belum juga makan. Berangkat kerja dengan perut kosong. Dul Muin mengenakan kaus partai, sebuah kaus pemberian salah seorang caleg tiga tahun lalu. Itu kaus yang sering dikenakannya saat bekerja sebagai kuli bangunan.

Matahari mulai menampakan sinarnya, menerpa semua pekerja bangunan. Dul Muin terlihat lamban bekerja sampai istirahat tiba. Semua teman Dul Muin makan siang yang dibawanya dari rumah. Dul Muin hanya duduk di pojokan. Datang temannya sesama kuli mengajak Dul Muin makan berdua. Dengan perasaan malu terpaksa Dul Muin menerima ajakannya.

“Ngomong-ngomong sekarang ini pemerintah sedang memberi bantuan pada orang miskin seperti kita. Kau dapat?”

Lelaki di hadapan Dul Muin menggeleng sambil berkata, “Walaupun saya miskin, saya tak pernah berharap dapat bantuan dari pemerintah.”

“Kenapa Mad? Negara memang wajib membantu yang miskin.” Teman Dul Muin itu ternyata bernama Mad Lasim.

“Yang ada kita yang membantu negara.” Ia menghentikan makannya, sejenak melihat raut muka Dul Muin yang kebingungan.

Dul Muin masih kebingungan dengan pernyataan temannya tersebut. Ia tidak menjelaskan secara terperinci apa maksud kalimatnya. Ia keburu pergi, membiarkan Dul Muin menghabiskan makanannya.

Sampai akhirnya matahari hampir tenggelam di ujung barat, Dul Muin pulang ke rumah. Dalam sakunya terselip uang sermbilan puluh ribu rupiah sebagai upah bekerja hari itu. Dul Muin melihat istrinya duduk santai di beranda rumah.



Baca Juga: Pohon Sapu Jagat

Lima anaknya sedang bermain petak umpet. Mereka sama sekali tidak pernah meminta apapun diluar batas kemampuan orang tuanya. Beruntung Dul Muin memiliki lima anak yang penurut.

Dul Muin mengeluarkan uang, memberikannya pada sang istri. “Apa kau dan anak-anak sudah makan?”

Pertanyaan ini muncul lantaran sebelum berangkat bekerja Dul Muin tidak memberinya uang belanja kepada sang istri. Masniyatun menjawab, “Sudah, Kak. Anak-anak juga sudah makan.”

“Kau masak apa tadi?”

“Ya masak nasi.”

“Maksud saya lauknya apa?”

“Kau ini masih banyak tanya. Kayak gak tahu saja menu makan kita sehari-hari.”

“Alhamdulillah, kita masih bisa makan. Banyak orang di luar sana yang lebih melarat dari kita.”



“Ya, Kak. Meskipun makan seadanya. Kita memang patut bersyukur karena dengan bersyukur menjadikan semuanya terasa cukup.”

“Tidak masalah kita miskin asal kita tidak punya utang. Ini sudah lebih dari cukup,” ucap Dul Muin seraya melihat lima anaknya yang girang bermain petak umpet.

“Ya Kak, itulah doa yang saya panjatkan setiap selesai salat.”

“Saya juga berdoa begitu,” kata Dul Muin.

“Doa apa, Kak?” Masniyatun menggoda suaminya dengan senyum.

Dul Muin menatap istrinya, “Saya berdoa semoga kita tidak sampai berutang meskipun hidup miskin. Karena saya tidak ingin mati dengan mewariskan utang pada anak-anak..”

“Kalau negara yang punya utang. Itu siapa yang bayar ya Kak?”

“Pertanyaanmu aneh.” Antara malas menanggapi dan tidak tahu jawabannya, Dul Muin mengalihkan pandangan, melihat lima anaknya yang tumbuh besar dalam garis kemiskinan.

Sepasang suami istri yang hidupnya miskin itu tersenyum bahagia dan tak lama kemudian tertawa terbahak-bahak sampai bahu mereka berguncang. Mereka masuk ke dalam rumah, bergandengan tangan seperti pengantin baru menuju kamar dan membiarkan lima orang anak mereka tetap main petak umpet.

Pulau Garam, Juli 2021

Zainul Muttaqin lahir di Garincang, Batang-Batang Laok, Batang-Batang, Sumenep. Kini ia tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Cerpennya Celurit di Atas Kuburan terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2019. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya: Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019) Neraka Pemikat (Jagat Litera, 2021)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya