SOLOPOS.COM - Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7/2017), sebagai saksi dalam kasus korupsi e-KTP (JIBI/Solopos/Antara/Hafidz Mubarak A)

Politikus PDIP Arif Wibowo mengklaim dia dan fraksinya kritis terhadap proyek e-KTP di masa SBY.

Solopos.com, JAKARTA — Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Arif Wibowo mengaku sempat mengkritisi pengadaan proyek e-KTP. Arif menjadi satu-satunya politikus DPR yang memenuhi panggilan KPK hari ini, Rabu (5/7/2017).

Promosi Waspada Penipuan Online, Simak Tips Aman Bertransaksi Perbankan saat Lebaran

KPK memeriksa Arif Wibowo sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam penyidikan kasus korupsi e-KTP. “Ya kan 2009 pemilunya kacau. NIK-nya harus beres. NIK beres itu syarat KTP-e harus bisa jalan. Ya sepanjang NIK-nya tidak beres ya tidak bisa,” kata Arif sesuai diperiksa KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Arif mengaku saat itu tidak ikut dalam rapat soal proses pembahasan anggaran pengadaan e-KTP. “Ya tidak tahu, saya tidak ikut bahas. Saya tidak paham anggaran, rapat-rapat kan banyak cek saja siapa yang hadir, siapa yang vokal, cek saja. Yang pasti fraksi kami fraksi yang kritis saat itu,” kata Arif.

Ia juga mengaku tidak mengenal Andi Narogong saat proses pembahasan anggaran e-KTP. “Kenal Andi atau tidak? Pernah ketemu atau tidak? Atau pernah ikut rapat bersama atau tidak? Ya saya jawab tidak pernah. Itu kan 2010 saya masih jadi anggota baru. Tahu bentuk orangnya saja tidak tahu apalagi ketemu. Semua sudah saya jelaskan intinya menyangkut Andi Agustinus,” kata dia.

Soal aliran dana, Arif juga menyatakan tidak pernah menerima atau ditawarkan uang dalam proyek tersebut. “Ditanya ada dana atau tidak. Ya saya jawab tidak pernah,” ucap Arif.

Dalam dakwaan jaksa, Arif Wibowo yang saat itu juga sebagai anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP disebut menerima US$108.000 terkait proyek senilai Rp5,95 triliun itu. Terdakwa dalam kasus itu adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.

Irman sudah dituntut 7 tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara. KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan anggota Komisi II DPR 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara itu, Miryam S Haryani disangkakan melanggar pasal 22 juncto pasal 35 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya