SOLOPOS.COM - Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (ekon.go.id)

Solopos.com, JAKARTA – Laju Inflasi Indonesia di masa pandemi 2021 relatif terkendali dibandingkan beberapa negara yang mengalami peningkatan inflasi akibat supply-demand imbalance dan krisis energi. Seperti Singapura sebesar 3,8% (yoy), Euro Area sebesar 4,9% (yoy) dan Amerika Serikat sebesar 6,8% (yoy) pada November 2021.

Tercatat pada 2021 inflasi di Indonesia berada di bawah kisaran target sebesar 3±1% (yoy) yang telah ditetapkan. Yakni sebesar 1,87% (yoy) atau naik dari realisasi tahun 2020 sebesar 1,68% (yoy). Hal ini tidak terlepas dari koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Pencapaian realisasi inflasi 2021 didukung oleh inflasi volatile food (VF) yang masih terjaga di tengah peningkatan inflasi administered prices (AP) dan masih terbatasnya inflasi inti,” ungkap Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto, di Jakarta, Senin (3/1/2022).

Secara bulanan, inflasi Desember 2021 meningkat sesuai dengan tren musiman dengan realisasi sebesar 0,57% (mtm). Ini dipengaruhi oleh pergerakan seluruh komponen inflasi dan merupakan angka tertinggi sepanjang tahun 2021.

Baca juga: Awas! Kemenkes: 152 Orang di Indonesia Terinfeksi Varian Omicron

Komponen VF pada Desember 2021 mengalami inflasi 2,32% (mtm) atau 3,20% (yoy) dengan andil 0,38%. Beberapa komoditas VF itu antara lain cabai rawit, minyak goreng, telur ayam ras, daging ayam ras, dan cabai merah. Secara tahunan, inflasi VF terjaga sesuai rentang yang disepakati dalam High Level Meeting Tim Pengendali Inflasi Pusat (HLM TPIP) pada 11 Februari 2021, yakni kisaran 3% – 5% (yoy).

Harga cabai rawit pada Desember meningkat sebesar 85,98% (mtm) dengan andil terhadap inflasi sebesar 0,11%. Kenaikan harga ini disebabkan oleh produksi yang tidak optimal antara lain karena serangan hama patek di daerah Garut, banjir di Pontianak. Serta berakhirnya masa panen di beberapa daerah sentra produksi cabai rawit, seperti di Cianjur, Magelang, dan Blitar.

Komoditas lain yang menyumbang inflasi nasional di Desember yakni minyak goreng sebesar 0,31%. Semenjak Juli 2020, minyak goreng telah menunjukkan kenaikan harga sebesar 46,32%. Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 31 Desember 2021, harga minyak goreng telah mencapai Rp19.900,00/liter.

“Kenaikan harga CPO saat ini berdampak pada kenaikan harga minyak goreng sebagai salah satu turunannya. Namun di sisi lain memberikan insentif kepada kesejahteraan petani dengan kenaikan Nilai Tukar Petani Perkebunan Rakyat (NTPR),” ungkap Menko Airlangga.

Baca juga: Operasi Pasar, Langkah Nyata Pemerintah Stabilisasi Harga Pangan

OP Minyak Goreng

Pemerintah pun berupaya menurunkan harga beberapa bahan pangan. Salah satunya bersama produsen minyak goreng dan pengusaha ritel, menyediakan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp14.000,00 per liter melalui skema operasi pasar, menjelang Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.

Kebijakan pelonggaran PPKM menjelang Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 juga mendorong peningkatan inflasi pada komponen AP sebesar 0,45% terutama didorong oleh peningkatan tarif angkutan udara yang memberikan andil terhadap inflasi Desember 2021 sebesar 0,06%.

Sepanjang tahun 2021, tarif angkutan angkutan udara memberikan andil terhadap inflasi nasional sebesar 0,08%. Komoditas dalam komponen AP yang juga dominan menyumbang terhadap inflasi nasional yakni aneka jenis rokok. Sepanjang tahun 2021, rokok kretek filter dan rokok putih menyumbang andil terhadap inflasi nasional masing-masing sebesar 0,08% dan 0,04%. Kenaikan ini seiring dengan naiknya tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang berlaku sejak 1 Januari 2020.

Sementara itu, komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,16% (mtm) atau 1,56% (yoy) dengan andil 0,11%. Sepanjang 2021, komoditas komponen inti yang dominan menyumbang inflasi nasional yakni nasi dengan lauk sebesar 0,05%. Kenaikan biasanya didorong adanya peningkatan harga pada beberapa komoditas VF.

Baca juga: Rata-Rata Naik 12 Persen, Ini Daftar Harga Rokok Terbaru

Disisi lain, penurunan kasus Covid-19 membuat Pemerintah dapat terus memberlakukan relaksasi pembatasan mobilitas. Kondisi ini mendorong kelancaran aktivitas ekonomi termasuk pada sektor manufaktur. Hasilnya, terjadi kenaikan pada permintaan domestik dan luar negeri sehingga turut mendongkrak tingkat produksi. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia Desember 2021 tercatat di posisi 53,5 atau masih berada pada level ekspansif. Level PMI Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yakni Malaysia (52,8), Filipina (51,8), dan Myanmar (49,0).

Ke depan, tingkat inflasi tahun 2022 diperkirakan akan meningkat dibanding pencapaian tahun 2021. Diperkirakan karena permintaan domestik yang semakin pulih seiring bergeliatnya aktivitas ekonomi.

“Pemerintah juga terus memonitor imported inflation seiring tren kenaikan harga komoditas global dan normalisasi kebijakan moneter bank sentral dunia. Di tengah berbagai tantangan pada 2022, komitmen dan sinergi bersama baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia untuk strategi pengendalian inflasi menjadi kunci agar inflasi tetap terkendali,” pungkas Menko Airlangga.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya