SOLOPOS.COM - Presiden Jokowi berfoto bersama dengan kepala negara yang hadir dalam KTT Arab Islam Amerika di Riyadh, Arab Saudi, Minggu (21/5/2017). (Setkab.go.id)

Presiden Jokowi berpidato di depan Donald Trump. Dia menyebut umat Islam-lah yang menjadi korban terbesar dari konflik dan terorisme.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi terorisme. Menurut Presiden, korban radikalisme dan terorisme yang terbanyak adalah umat Islam.

Promosi Kisah Inspiratif Ibru, Desa BRILian Paling Inovatif dan Digitalisasi Terbaik

Indonesia adalah salah satu korban aksi terorisme, sebagaimana terjadi pada serangan di Bali terjadi pada 2002 dan 2005 dan serangan di Jakarta terjadi Januari 2016. Presiden mengatakan hal itu ketika berbicara dalam Arab Islamic America Summit (KTT Arab Islam Amerika) yang juga dihadiri Presiden Amerika Serikat Donald Trump, di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh, Arab Saudi, Minggu (21/5/2017).

“Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme di berbagai belahan dunia di Prancis, Belgia, Inggris, Australia, dan lain-lain,” ucap Presiden Jokowi, dikutip Solopos.com dari Setkab.go.id.

Menurut Presiden Jokowi, dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara seperti Irak, Yaman, Suriah, dan Libya. “Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme,” kata Presiden.

Presiden mengatakan bahwa jutaan saudara-saudara kita harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jutaan generasi muda kehilangan harapan masa depannya. “Kondisi ini membuat anak-anak muda frustasi dan marah. Rasa marah dan frustasi ini dapat berakhir dengan muculnya bibit-bibit baru ektremisme dan radikalisme,” kata Presiden.

Presiden mengatakan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di mana-mana. Namun, pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar. Untuk itu, Indonesia meyakini pentingnya menyeimbangkan pendekatan hard-power dengan pendekatan soft-power.

“Selain pendekatan hard-power, Indonesia juga mengutamakan pendekatan soft-power melalui pendekatan agama dan budaya,” kata Presiden Jokowi.

Presiden memberi contoh, untuk program deradikalisasi di Indonesia yang melibatkan masyarakat, keluarga, termasuk keluarga mantan narapidana terorisme yang sudah sadar, dan organisasi masyarakat. Adapun untuk kontra radikalisasi, lanjut Presiden, pemerintah merekrut para netizen muda dengan follower yang banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai.

“Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk terus mensyiarkan Islam yang damai dan toleran,” tutur Presiden seraya menegaskan, pesan-pesan damailah yang harus diperbanyak bukan pesan-pesan kekerasan. Karena setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru.

Dalam kesempatan itu, Presiden menilai KTT Arab Islam Amerika memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan Amerika Serikat, dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh.

“Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia,” ujar Presiden Jokowi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya