SOLOPOS.COM - Prabowo bersama Fadli Zon (kiri) dan Hary Tanoesoedibjo (kanan) hadir dalam penobatan Pemenang Indonesian Idol 2014 (Youtube)

Manuver Hary Tanoesoedibjo memindahkan dukungan dari kubu Prabowo ke Jokowi mengundang banyak spekulasi.

Solopos.com, JAKARTA — Cerita akrobat politik Hary Tanoesoedibjo dan partai yang dipimpinnya–Partai Perindo–akan mendeklarasikan dukungannya kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden pada Pilpres 2019 mengejutkan banyak pihak. Kini, pertanyaan muncul soal apa yang ditawarkan dan diharapkan Hary di balik dukungan itu.

Promosi Cerita Klaster Pisang Cavendish di Pasuruan, Ubah Lahan Tak Produktif Jadi Cuan

Tidak terlalu jelas seberapa besar signifikansi politik dukungan yang diberikan Perindo bagi peningkatan elektabilitas Jokowi. Perindo sendiri belum jelas benar apakah akan lolos menjadi peserta Pemilu Legislatif 2019 yang akan digelar serentak dengan pilpres.

Sejauh ini, Perindo baru lolos sebagai badan hukum, sama seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pimpinan Grace Natalie dan Partai Idaman pimpinan Rhoma Irama. Mereka masih harus mengikuti verifikasi administrasi dan faktual yang akan digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) apakah layak menjadi peserta Pemilu 2019.

Cukup populernya nama Perindo tak bisa dilepaskan dari iklan masif di jaringan media milik Hary Tanoe sendiri, yang meliputi sejumlah stasiun televisi, radio, juga media cetak. Hary Tanoe yang akrab disapa HT memang pertama-tama dikenal sebagai taipan media pemilik MNC Group—dan baru beberapa tahun belakangan mencoba terjun ke dunia politik.

Sebelum akhirnya mendeklarasikan Partai Perindo pada 7 Februari 2015 dan menjadi ketua umumnya, HT pernah berkiprah di Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh, pemilik Media Group. HT keluar dengan menyisakan rumor adanya ketidakcocokan dengan Surya Paloh.

Tak lama, HT bergabung ke Partai Hanura pimpinan Wiranto, mantan Panglima ABRI yang kini menjadi Menko Polhukam di Kabinet Kerja. Kala itu, Wiranto dan HT sempat digadang-gadang menjadi kandidat presiden-wapres untuk Pilpres 20014. Namun, duet ini tak pernah benar-benar menjadi pasangan yang meraih tiket pencalonan.

HT pun keluar dari Hanura, dan memilih langkah berbeda dengan Wiranto yang membawa Hanura dalam gerbong Koalisi Indonesia Hebat (KIH) untuk mendukung pencalonan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Meski tanpa partai, HT menyatakan dukungannya kepada duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung Koalisi Merah Putih (KMP).

Meski Prabowo-Hatta kalah, HT tetap memperlihatkan kesetiaannya untuk berada di kubu KMP. Konsistensi HT berada di kubu KMP—yang kemudian menyisakan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—diperlihatkan ketika hiruk-pikuk prosesi Pilkada DKI Jakarta.

HT dan Perindo secara resmi mendukung duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung Gerindra-PKS sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur yang berhasil menumbangkan duet petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, yang diusung beberapa partai koalisi pendukung Jokowi-JK, antara lain PDIP dan Golkar, di putaran kedua.

Lalu, kenapa sekonyong-konyong HT dan Perindo berubah haluan dengan menyatakan bakal mendukung pencalonan kembali Jokowi dalam Pilpres 2019?

Banyak spekulasi tentang langkah kuda HT tersebut. Ada yang bilang ini cara HT untuk lepas dari jerat hukum, karena saat ini dia berstatus tersangka dalam kasus dugaan pidana mengancam seorang jaksa lewat SMS. Argumen ini melandaskan pada asumsi bahwa perkara yang menjerat HT berbau politik, alias tidak murni hukum. Semangatnya adalah barter politik.

Ada juga yang bilang HT adalah tipikal pengusaha yang terjun ke politik. Bahwa semuanya tidak lepas dari kalkulasi untung-rugi. Pendek kata, HT bukanlah politikus tradisional yang bisa memegang teguh pendirian ideologisnya, bahkan dalam situasi paling mengimpit dirinya sekalipun. HT pertama-tama tetaplah pengusaha, yang di belahan dunia manapun cenderung oportunis.

Ada juga yang mengembangkan argumen bahwa langkah HT mendukung Jokowi justru untuk menggembosi elektabilitas Jokowi. Argumen yang agak konyol ini mencoba memberi pesan bahwa dukungan HT hanyalah trik, karena secara prinsip HT tetap setia kepada kubu KMP. Benarkah ada kesetiaan dalam politik?

Di luar soal konsesi dan bargaining position, pertanyaannya tetap: sejauh mana signifikansi politik dukungan HT dan Perindo untuk menaikkan elektabilitas Jokowi?

Dari sisi dukungan partai dan mobilisasi massa, sesungguhnya tak terlalu banyak yang bisa diharapkan dari HT dan Perindo. Perindo belum pernah ikut pemilu, sehingga sulit memprediksi dukungan pemilih terhadap eksistensi partai tersebut. Sekadar mencoba mengidentifikasi basis massa Perindo pun, rasanya ada kesulitan yang cukup serius.

Hanya, jangan lupa, HT adalah konglomerat sekaligus pemilik MNC Group, yang mengelola sejumlah stasiun televisi, radio dan media cetak. Siapapun yang ingin terjun ke politik, apalagi menghadapi kompetisi dalam sebuah kontestasi, membutuhkan dukungan dana/logistik sangat besar, apalagi kalau skalanya adalah pilpres.

Begitu juga dengan potensi dukungan media yang begitu massif dalam pembentukan opini publik. Sebagai pemilik jaringan media yang besar, HT tentu saja memiliki keleluasaan untuk memainkan dukungan dari sisi media. Sekadar mengarahkan policy pemberitaan politik agar lebih berimbang niscaya sudah memiliki pengaruh besar kepada kandidat manapun yang tengah memiliki elektabilitas tinggi. Artinya, tanpa harus tampak sangat partisan pun kandidat yang unggul cenderung diuntungkan.

Satu hal, langkah mengejutkan HT dan Perindo sedikit-banyak akan mengubah peta perpolitikan elite di negeri ini. Bagaimana pun, langkah HT bakal diperhitungkan serius berbagai pemain politik utama di republik ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya