SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta (Solopos.com)–Fayakhun Andriadi, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar kembali mengkritik kurikulum pendidikan nasional yang terlalu banyak diarahkan pada pekerjaan menghafal bagi para peserta didik.

“Kurikulum dengan penekanan pada hafalan itu sangat tidak mendukung penciptaan cara berpikir, mentalitas, ataupun keterampilan hidup yang kondusif bagi diri para peserta didik maupun bagi masa depan bangsa ini,” kata Adriadi kepada Antara di Jakarta, Kamis (7/4/2011).

Promosi BRI Peduli Ini Sekolahku, Wujud Nyata Komitmen BRI Bagi Kemajuan Pendidikan

Mempertahankan kurikulum seperti itu, menurut dia, bisa menjadi ‘bom waktu’ yang sanmgat berbahaya bagi kualitas masa depan bangsa dalam percaturan global yang amat kompetitif di berbagai bidang kehidupan.

Anggota Komisi I DPR RI (bidang Hankam) tersebut menyebutkan, dari aspek Hankam negara, ini tak bisa dibiarkan berlarut.

Masalahnya, ketahanan bangsa tengah menghadapi berbagai arus global, yang di masa depan hanya bisa dihadapi dengan kesiapan mental, jatidiri tangguh, intelektualitas dan SDM yang mumpuni.

Mata pelajaran berjejer
Fayakhun Andriadi menuturkan bahwa sejumlah keponakannya kini mengeyam pendidikan di bangku sekolah negeri.

“Setelah saya amati secara lebih dalam, kurikulum pendidikannya sangat tidak mendukung bagi penciptaan cara berpikir, mentalitas, ataupun keterampilan hidup yang kondusif bagi perserta didik, termasuk masa depan bangsa ini,” ujarnya.

Sebab, lanjut dia, kurikulum dari SD sampai SMA selalu mengarahkan anak didik pada kegiatan hafal dan menghafal.

“Hafal berarti dapat mengucapkan sesuatu di luar kepala. Menyuruh menghafal berarti menyuruh mereka meresapi sesuatu ke dalam pikiran agar selalu ingat. Dan seringkali tuntutannya adalah siswa harus hafal persis seperti yang tertulis di buku,” ungkapnya.

Hal ini, demikian Andriadi, berlaku untuk semua mata pelajaran, tak peduli apakah itu eksakta (seperti Matematika, IPA, Fisika, dsb), sosial (sejarah, IPS, dst), dan agama atau pendidikan moral.

“Jumlah mata pelajaran sekolah negeri, juga mayoritas sekolah swasta, berjejer banyak. Tingkat SD saja, jumlah mata pelajarannya bisa mencapai 10-12 mata pelajaran. Tingkat SMP dan SMA antara 12 sampai 14 mata pelajaran,” ucapnya.

Ia menambahkan pula, andaikan satu pelajaran berisi 15 hafalan, berarti anak SD harus mampu mengingat sekitar lebih kurang 150 hafalan.

“Karena tuntutan menghafal itu, maka pada saat ujian, anak didik dilarang membuka buku alias ‘nyontek. Pertanyaannya, apakah membuka buku sama dengan nyontek ?. Jawabannya belum tentu,” ujarnya.

Sebab, menurutnya, kalau soal ujiannya merupakan kasus yang membutuhkan imajinasi (otak kanan) dan memerlukan pendalaman pengertian (juga otak kanan), sebetulnya membuka buku bukan berarti akan bisa menjawab soal.

“Akan tetapi, karena semua soal adalah pertanyaan dangkal yang tidak membutuhkan analisa, maka semua soal bisa dijawab dengan sekadar membuka buku. Karenyanya, ‘nyontek’ alias membuka buku saat ujian dilarang keras,” katanya.

Melahirkan penyakit mental
Politisi muda Partai Golkar dari daerah pemilihan (dapil) Jakarta Selatan dan Luar Negeri ini lalu mengingatkan, setiap orang, termasuk anak didik, sudah pasti ingin sukses dalam ujian.

“Mereka tidak ingin dicap sebagai anak bodoh. Akan tetapi mereka juga tidak kuat menghafal sebegitu banyak item pelajaran yang mereka tahu bahwa sebagian besarnya tidak akan masuk sebagai soal ujian,” ujarnya.

Tetapi, karena mereka tidak tahu mana yang akan jadi pertanyaan, tambah Andriadi, akhirnya para murid itu dituntut untuk menghafal semuanya, jika tidak ingin gagal.

“Pertautan antara keinginan untuk tidak gagal dan keterbatasan kemampuan menghafal, pada akhirnya melahirkan penyakit mental (kronis) di kemudian hari, di antaranya manipulasi, tipu muslihat, dan akal bulus,” ungkapnya.

Dia menunjuk realitas, mayoritas anak didik berlomba-lomba pintar membikin contekan,  ‘jimat’ dan beraneka trik.

“Ada yang bikin contekan di tisu, kertas kecil, di betis, di paha, perut dan segala macam tempat yang tertutup dari mata pengawas ujian,” imbuhnya.

Semua ini, menurut Andriadi, tidaklah merupakan faktor positif guna membentuk mental dan moral anak bangsa sebagai kader bangsa menghadapi masa depan yang kian konpetitif, sehingga perlu diatasi segera.

(Ant/nad)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya