SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak berkebutuhan khusus (ABK). (JIBI/Dok)

Solopos.com, SOLO— SDN Nayu Barat 2, Nusukan, Solo sedang mengadakan kegiatan cuci sarung dan mukena untuk menyambut lebaran, Senin (17/4/2023). Septi, 8, bukan nama sebenarnya, sedang bermain bola basket dari karet sendiri ketika siswa lain sibuk mencuci sarung dan mukena.

Bahkan ketika yang lain masih di dalam kelas, Septi mondar-mandir di halaman sekolah. Dia kemudian menghampiri salah satu fotografer yang akan meliput kegiatan pagi itu. Dengan polos dia meminta kamera DSLR dan mulai memotret sekitarnya.

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

Dia pandai bersosialisasi dan cakap memperkenalkan diri. “Saya disleksia, masnya jaga saya di sini ya biar tidak jatuh,” kata Septi kepada fotografer tersebut. Dialog tersebut berlanjut dan Septi ditanya apa itu disleksia. “Otak saya yang sebelah kanan isi, terus yang sebelah kiri kosong,” kata dia. Sontak, orang-orang senyum mendengar jawaban tersebut.

Sebelum di SDN Nayu Barat 2, Septi sudah pernah bersekolah di salah satu SD swasta di Solo. Namun, gurunya kewalahan dan menganggap Septi sebagai siswa pembuat onar sehingga kelas tidak kondusif. Bahkan dia sering menjadi sasaran perundungan dan bahan ejekan temannya yang lain.

Hal ini lantaran Septi, sering teriak dan hiperaktif di kelas. Kondisi dirinya yang sulit untuk berkonsentrasi, membuat dia lebih memilih mondar-mandir di kelas sambil bermain. Tidak jarang dia enggan mengikuti pelajaran dan arahan guru.

Guru yang kehilangan kesabaran dan minim pengalaman jelas akan menganggap Septi sebagai sumber masalah di kelas. “Septi lagi, Septi lagi,” begitu persepsi sekolahnya yang lama hingga membuat stigma dalam dirinya. Paling parah, dia dianggap anak nakal yang seharusnya tidak ada di kelas tersebut.

Hingga akhirnya, orang tuanya memutuskan untuk memindahkan ke salah satu sekolah inklusi, SDN Nayu Barat 2. Di sekolah tersebut dia bertemu guru yang sejak awal sudah diberikan bekal bagaimana cara menangani ABK.

Septi memang salah satu anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah tersebut. Dia menderita disleksia, tidak seperti anak lain, dirinya mengalami keterlambatan membaca dan susah konsentrasi. 

Tidak seperti beberapa anak lain yang memiliki guru khusus pendamping. Dia tidak, satu-satunya guru pendamping khusus adalah wali kelas dan satu guru khusus yang disediakan sekolah melalui Dinas Pendidikan. 

Sementara di rumah, dia tinggal bersama ibunya yang sakit. Ketika ditanya ayahnya ke mana. “Ayah kerja di luar kota, saya kalau pulang sekolah dijemput Gojek,” kata dia. 

Septi sering merasa dikucilkan dan dianggap biang kerok masalah di lingkungan sekolahnya yang dulu. Untuk menghindari mispersepsi itu, Wali kelas 1 SDN Nayu Barat 2, Erwin Kurniati, mengatakan karena sekolahnya itu merupakan sekolah inklusi, dia sejak awal sudah memahamkan kepada anak-anak bahwa semuanya teman. 

“Kita beragam, ada teman yang harus mendapat perhatian lebih, makanya anak-anak jatuhnya tidak mem-bully tapi momong,” kata dia ketika ditemui Senin (17/4/2023)

Saat ini Erwin mengampu tiga ABK di kelasnya. Ketika mengajar, dia kedepankan empati dan rasa sabar. Dia meyakini ABK tetap memiliki potensi dan bisa hidup mandiri di masyarakat. Tekatnya tidak sederhana, dia ingin menghilangkan stigma ABK di lingkungan masyarakat.

“Maka misi saya mengajar lebih pada capaian sosial agar si anak bisa mandiri, tidak manja dan tidak terlalu bergantung pada orang lain,” kata dia.

Misal, dia memberikan contoh terdapat salah satu siswanya yang memiliki keterbatasan penglihatan, si anak hanya bisa melihat dengan radius lima centimeter. 

“Pernah pensil anak itu jatuh, dia teriak-teriak tanya pensilnya ke mana, nah teman-temannya saya ajarkan untuk jangan diambilkan, cukup ditunjukan saya biar nanti ambil sendiri, tujuannya agar mandiri,” kat dia.

Guru Pendamping Khusus (GPK) SDN Nayu Barat 2, Alit Martaningrum, menyampaikan penekanan yang sama kepada siswa lain agar tidak membeda-bedakan siswa ABK dan non-ABK. Mereka didorong untuk saling membantu dan berteman seperti biasa. 

“Anak-anak perlu untuk dipahamkan kalau mereka [ABK] tidak ada bedanya, jadi tidak boleh membeda-bedakan satu teman dengan teman yang lain,” kata dia.

Saat ini, dia mengatakan total ada dari 150 siswa terdapat 37-40 ABK. Dia menambahkan kebanyakan mengalami keterlambatan baca, tulis, dan hitung (Calistung). Hal ini tidak hanya karena kepribadian si anak, melainkan faktor pandemi.

“Karena orang tua siswa yang ada di sini kebanyakan dari keluarga marginal, jadi orang taunya fokus untuk bekerja kemudian kemarin karena pandemi tidak sekolah, maka anak-anak banyak yang baca tulisnya terlambat,” tutur dia.

Selain itu, dia melanjutkan kebanyakan ABK di sekolahnya mengalami slow learner, kondisi siswa lambat memproses informasi lebih lambat. “Jadi mayoritas di sini, slow learner dan calistungnya,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya