SOLOPOS.COM - Ungkapan duka cita untuk korban tragedi Itaewon, Korea Selatan. (Twitter)

Solopos.com, JAKARTA—Ada satu cerita menarik pada pekan lalu. Ini tentu terlepas dari tragedi Itaewon di Korea Selatan. Peristiwa itu sangat memilukan. Ratusan orang tewas. Sementara sisanya masih berjibaku untuk survive karena menderita luka atau trauma.

Sedikit move on dari tragedi Itaewon, di belahan bumi lainnya, yang pasti masih di Asia, sebuah perubahan sedang terjadi. Arab Saudi yang 10 tahun lalu dikenal sangat konservatif mulai membuka diri.

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

Mereka tidak lagi kaku. Festival-festival dan bentuk kesenangan ‘duniawi’ mulai dibuka lebar-lebar.

Baca Juga Vladimir Putin Puji Kecantikan Wanita Indonesia, Connie Jadi Sasarannya

Termasuk perayaan Halloween. Meskipun, khusus wilayah tertentu, tanah haram, Madinah dan Makkah, tetap dilarang untuk kegiatan tersebut. Dua kota itu harus suci. Seperti dulu, dan tidak akan pernah berubah.

Kendati publik juga mafhum, di Makkah, bisnis properti semakin menggurita. Gedung tinggi dan penginapan kelas wahid bagi jemaah umrah dan haji dengan label plus-plus tersedia dengan harga yang selangit. Kembali ke soal Halloween, perayaan itu tentu bukan berasal dari tradisi Arab.

Apalagi sebuah kebiasaan yang bersumber dari nilai agama yang dianut oleh mayoritas orang Saudi. Helloween murni bermula dari tradisi barat, khususnya Amerika Serikat. Dan Arab Saudi ikut merayakannya.

Baca Juga Pengamat Militer: Disharmoni Panglima TNI dan KSAD Terkait Pilpres

Momen ini jelas bukan peristiwa kebudayaan yang biasa. Perayaan Halloween di Arab Saudi adalah sesuatu hal yang sangat menarik. Ini juga bisa menandakan adanya suatu transformasi dalam masyarakat Arab Saudi yang semula konservatif menjadi open minded.

Mereka tidak lagi canggung melakukan kegiatan yang hukumnya dalam agama masih memicu perdebatan. Pertanyaannya, sejak kapan perubahan-perubahan itu terjadi? Siapa pencetusnya?

Kenapa tradisi-tradisi itu bisa dirayakan dalam sebuah negara monarki dengan sistem hukum agama yang sangat ketat? Perubahan di jantung Saudi tentu tidak bisa dilepaskan dari sosok Pangeran Mohammed Bin Salman alias MBS. Dia adalah pembaharu di Arab Saudi.

Baca Juga Menhan Pertanyakan Kejujuran Penyingkap Mafia Alutsista

Pengaruhnya begitu kuat. Apalagi setelah dia menjabat sebagai perdana menteri. Penunjukan MBS telah menjadikannya penguasa de facto negara pengekspor minyak terbesar di dunia dan meresmikan perannya sebagai pemimpin pemerintahan kerajaan.

Al Jazeera melaporkan bahwa dengan menunjuk MBS sebagai perdana menteri, peran yang sebelumnya dan biasanya dipegang oleh Raja Salman yang kini berusia 86 tahun, maka telah terjadi transfer kekuasaan yang lambat namun stabil di kerajaan. Mohammed Bin Salman memang dikenal sebagai pemimpin visioner.

Pada April 2016, dia memperkenalkan Visi 2030, visi masa depan Arab Saudi, yang bertujuan menjadikan kerajaan sebagai jantung dunia Arab dan Islam, pusat investasi, dan pusat yang menghubungkan tiga benua.

Baca Juga Perang Korupsi dan Peluang Xi Jinping Jadi Presiden

Program itu berusaha untuk mendiversifikasi dan memprivatisasi ekonomi selain membuatnya tidak terlalu bergantung pada minyak. Pada tahun 2030, program itu siap membangun sistem e-government. MBS menjadi pewaris takhta pada 2017, setelah sebelumnya menjabat menteri pertahanan.

Langkahnya yang paling menonjol sebagai menteri pertahanan adalah memimpin Operation Decisive Storm, koalisi pimpinan Saudi di Yaman melawan pemberontak Houthi, yang diluncurkan pada Maret 2015. Putra mahkota juga telah mendorong kebijakan luar negeri yang lebih agresif untuk melawan pengaruh saingan regional Iran.

Pangeran Mohammed telah mengubah Arab Saudi secara radikal sejak dia naik ke tampuk kekuasaan melalui diversifikasi ekonomi dari ketergantungan pada minyak, memungkinkan perempuan untuk mengemudi dan mengekang kekuasaan ulama atas masyarakat. Barat Semakin Konservatif? Sebaliknya, ketika timur kian terbuka, Barat, Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang sejatinya pelopor dari gerakan kebebasan justru mulai kehilangan pamor.

Baca Juga Konjen China: Kunjungan Presiden Jokowi Jadi Pelopor

Mereka kian protektif. Rasisme menjalar. Antisemitisme, anti-Asia, merajalela. Amerika Serikat, yang konon mengklaim sebagai negara paling demokratis dan liberal, justru mulai membangun sekat-sekat. Mereka mulai melihat ‘timur’ sebagai ancaman. Apalagi setelah China muncul sebagai kekuatan baru.

Militer dan ekonomi China berkembang pesat. Pengaruhnya juga semakin kuat. AS mulai memprovokasi China. Pada masa pemerintahan Donald Trump mereka menggencarkan perang dagang. Perang dagang muncul setelah Trump ingin melindungi ekonomi AS yang semakin tergantung terhadap China.

Bea masuk dinaikkan. Impor dari China dikenakan tarif tinggi. Namun alih-alih ingin melindungi ekonominya dari gempuran ‘Made in China’, perang dagang justru menjadi bumerang buat AS.

Baca Juga Xi Jinping dan Putin Gelar KTT Bersama Pemimpin Asia



Sementara itu, China tetap perkasa. Ekonomi mereka tetap tumbuh dan kian mendekati AS, yang sejauh ini masih merajai perdagangan global. Pasca Trump, Joe Biden, kebijakan ini kemudian direvisi.

Perang dagang berakhir. Namun kebijakan-kebijakan yang ingin mengembalikan ‘Hegemoni AS’ malah membuat dunia kian tidak stabil. Perang Rusia-Ukraina, sedikitnya telah melibatkan AS di dalamnya. Di Timur, mereka mencoba memprovokasi China dengan isu-isu di Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan.

Sedangkan di Eropa, sentimen-sentimen anti-imigran hingga kasus Islamophobia tumbuh subur. Sebuah laporan berjudul European Islamophobia Report 2020 melaporkan sebanyak 901 kebencian terhadap muslim di Eropa. Mayoritas aksi Islamophobia terjadi di Prancis.

Baca Juga Kongres Partai Komunis China dan Dasasila Bandung

Islamophobia di Eropa bahkan telah menjalar ke elite-elite politiknya. Mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Prancis Emmanuel Macron, hingga Perdana Menteri Hungaria Victor Orban adalah contoh pemimpin yang pernah disorot karena Islamophobia dan pernyataannya tentang anti-imigran. Rasisme, anti-imigran, hingga Islamophobia di Eropa tentu bertentangan nilai-nilai kebebasan yang telah dirintis oleh para pemikir Barat pada era pencerahan lalu. Barat, Eropa dan AS, sepertinya telah kehilangan kesabaran.

Toleransi dan keragaman, seperti yang dilontarkan salah satu bapak ‘liberalisme barat’ John Locke, sepertinya telah pudar. Barat kian konservatif. Mereka tidak bisa lagi menoleransi kebebasan kepada kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Eropa.

Dengan dalih melindungi ‘nilai kebebasan’, pemimpin Eropa kemudian sibuk membuat batas-batas. Sekat-sekat semakin menebal. Yang itu dilarang karena tidak sesuai dengan nilai Eropa dan yang tidak seperti ini adalah liyan, orang lain, atau the others. Wajar jika rentetan peristiwa tersebut kemudian memicu debat dan memunculkan sebuah pertanyaan di kalangan intelektual: Is Multiculturalism Dead?

Berita ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Timur Kian Terbuka, Barat Semakin Konservatif?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya