SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemilihan calon anggota legislatif. (freepik)

Solopos.com, SEMARANG — Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wijayanto, menanggapi fenomena calon anggota legislatif (caleg) yang mundur meski meraih suara terbanyak dan berpotensi lolos baik ke DPR RI maupun DPRD. Wijayanto pun menduga ada kontrak politik atau kesepakatan yang dilakukan petinggi partai politik (parpol) tanpa mempertimbangkan pilihan atau suara publik.

“Ini [fenomena mundurnya caleg peraih suara terbanyak] perlu ditelisik lebih jauh. Tandanya ada masalah di internal partai, karena pertanyaannya kenapa dia [caleg] mundur? Kalau punya suara terbanyak mesti peluangnya lolos. Kalau mundur semestinya sebelum hasil pemilu diumumkan,” ujar Wijayanto kepada Solopos.com, Rabu (13/3/2024) malam.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Polotik (FISIP) Undip Semarang itu juga menggambarkan, sejak reformasi terjadi di Indonesia, masih banyak parpol yang tidak menjunjung prinsip reformasi. Hal ini bahkan terlihat dalam proses kaderisasi maupun perekrutan kader yang dinilai masih karut-marut. Hal ini pun menimbulkan pertarungan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilu legislatif.

“Sampai saat ini masih banyak catatan, baik organisasi, rekrutmen sampai pengkaderannya. Makanya sering kan event tertentu seperti calon Pilkada ada yang tunggal. Kita kan jadi bertanya-tanya partai bagaimana kaderisasinya? Kok tidak ada yang disiapkan [maju Pilkada]? Kok enggak ada yang bisa menyangingi incumbent? Kok hanya itu-itu saja [caleg dan kadernya],” tanyanya.

Oleh sebab itu, bila ada caleg maupun kader mundur maka hal ini perlu menjadi catatan bagi Parpol tersebut. Sebab, suara rakyat yang telah disalurkan kepada caleg atau kader itu seakan-akan tidak ada harganya atau dikhianati secara terang-terangan.

“Sudah dipilih kok mundur. Jadi ini suara yang sudah memilihnya dikemanakan? Di sisi lain, bagaimana partainya melakukan rekruitmen? Komitmen awalnya bagaimana? Uji kelayakannya bagaimana? Ini seakan-akan karena terpilih tiba-tiba dipertanyakan [komitmennya],” terangnya.

Caleg Nasdem

Lebih jauh, secara etika, caleg atau kader yang mengundurkan diri itu harusnya juga memberikan keterangan atau penjelasan secara gamblang atau terbuka kepada masyarakat. Termasuk partai pengusung agar tak menimbulkan kecurigaan mengenai pembahasan di ruang gelap demokrasi itu atau kontrak politik.

“Karena kalau ternyata ada paksaan [mundur] sangat ironi. Kok bisa calon lebih baik yang dipilih diminta mundur untuk calon lain? Maka menurut saya penjelasan sangat penting sebagai tanggung jawab, baik caleg, kader dan parpolnya. Karena memungkinkan ada satu ungkapan disembunyikan. Bisa jadi ada sesuatu di ruang gelap kamar demokrasi partai itu yang disembunyikan dari masyarakat,” ujarnya.

Sekadar informasi, caleg DPR RI dari Partai Nasdem di Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT) II, Ratu Ngadu Bonu Wulla, memutuskan untuk mengundurkan diri. Padahal, Ratu menjadi caleg dengan perolehan suara tertinggi di dapil tersebut dan berpotensi lolos ke Senayan atau DPR RI.

Perolehan suara Ratu yang mencapai 76.331 suara bahkan sanggup mengalahkan caleg lain Nasdem yang juga mantan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, dengan 65.359 suara. Praktis, dengan mundurnya Ratu, Viktor Laiskodat pun berpeluang lolos ke DPR RI.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya