SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI)

Kiriman ayam hidup tengah dibongkar di Pasar Ayam Semanggi, Solo. Jika ada ayam yang mati dalam proses pengiriman, bisa dipastikan ada orang yang akan memanfaatkan bangkai ayam itu untuk dijual. (JIBI)

Meningkatnya konsumsi daging ayam di bulan Ramadhan biasanya diikuti dengan makin maraknya perdagangan ayam tiren alias mati kemaren. Istilah gampangnya: daging bangkai! Tim Jaringan Informasi Bisnis Indonesia pun menelusuri bisnis bangkai ini dan mengungkap banyak fakta mengejutkan.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Mbok Waginem (bukan nama sebenarnya), siang itu menyelinap di antara deretan kios Pasar Ayam Semanggi, Pasar Kliwon. Langkahnya cekatan. Tangan kanannya menggamit karung bagor. Begitu melihat tiga ekor ayam potong tergeletak tak bernyawa di sebuah kios, langsung ia sambar ayam itu. Mbok Waginem tak banyak menawar. Sebab, tiga ekor ayam itu hanya dihargai Rp20.000. “Rasah dipencet-pencet, Mbok. Dagingnya masih bagus kok,” kata pedagang ayam meyakinkan.
Seusai membayar, Mbok Waginem berlalu sambil menenteng tiga ayam itu. Ia berjalan bergegas ke arah selatan. Tak berselang lama, ia menghilang di tengah keramaian pasar ayam terbesar di Solo itu.

Penjual ayam itu, Ny S, rupanya sudah hafal betul siapa saja para pembelinya. Sama seperti pedagang ayam lainnya, pedagang ayam bangkai itu, akan bertanya penuh selidik ketika ada pembeli baru. “Soalnya, kalau sampai ketahuan polisi, pedagang seperti itu bisa ditangkap,” kata Kentut, salah satu pedagang oprokan Silir.

Untuk membuktikannya, JIBI pun menelisik keberadaan tempat usaha pedagang ayam tersebut. Sambil menyamar sebagai pembeli, JIBI akhirnya berhasil mendapatkan salah satu alamat pedagang itu di sebuah kawasan Solo Baru, Sukoharjo. Sore hari menjelang Magrib, JIBI tiba di sebuah rumah mewah dengan pagar tembok menjulang tinggi. Di belakangnya, terdapat gudang, tempat ternak ribuan ayam-ayam serta seonggok alat potong unggas di sudut teras.

Di tengah keriuhan ayam-ayam potong yang makan bekatul, sejumlah pekerja mulai memunguti dan menepikan ayam-ayam yang mati. Bangkai ayam itu lalu disembelih. Ya, disembelih setelah mati, bukan saat masih hidup. Sebuah frezeer seukuran 2 meter x 1 meter tampak bertengger di depan gudang ayam itu. Lemari pendingin itulah yang menjadi tempat penyimpanan ayam-ayam mati. “Mestinya datang pukul 15.00 WIB tadi. Sekarang, ya tinggal sedikit,” kata Ny S sambil membuka freezer yang seketika menebarkan aroma bangkai di sekelilingnya.

“Jadinya beli berapa? Setengah kuintal?” tanya dia. Apa yang terlihat di dalam freezer membuat JIBI terkejut. Di dalam freezer itu, tampaklah tumpukan ayam yang masih utuh dan berbulu. Ayam-ayam itu adalah bagian kecil dari ayam-ayam potong yang tak bertahan hidup. “Kalau enggak dimasukkan freezer begini, ayamnya bisa busuk,” terangnya sambil mengurai ayam-ayam mati itu tanpa jijik.

Sambil menata bangkai-bangkai ayam di dalam freezer, pedagang itu bercerita banyak hal. Mulai penyebab kematian ayam-ayamnya, para pelanggan yang gemar memburu ayam mati, hingga jenis-jenis harga ayam mati. “Kalau matinya sudah lama begini, cukup Rp2.000/kg. Tapi, kalau matinya baru saja, harganya Rp9.000/kg,” jelasnya.

Dalam sehari, ayam yang mati itu belasan hingga puluhan ekor. Inilah risiko berdagang. Namun, Ny S rupanya tahu cara menjaga bangkai-bangkai ayam itu agar tetap diburu pembeli. “Saya sebenarnya juga enggak jualan ayam mati sih. Tapi, namanya pembeli kan banyak alasannya. Jadi, saya enggak bisa menggak (menolak),” kilahnya.

Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Solo, Weni Ekayanti, tak menampik adanya transaksi jual-beli ayam mati di sejumlah pasar tradisional di Kota Solo. Salah satu modusnya ialah bekerja sama dengan para peternak ayam dari luar Kota Solo. Ayam-ayam mati itulah—baik karena terjepit, berdesakan dalam kandang atau karena faktor lainnya—yang akan menjadi “kaldu” tambahan para pedagang dan penadah nakal. “Biasanya untuk pakan ikan lele. Tapi, ini hanya alasan agar tak ketahuan saja,” kata Weni.

Ilustrasi (JIBI)

Menjelang Lebaran seperti ini, kata Weni, transaksi barang haram itu kemungkinan akan semakin meluas. Menjelang Ramadan tahun ini, Weni memergoki pedagang di Pasar Harjodaksino yang ketahuan menjual kepala ayam busuk dalam sebuah operasi yustisi. “Bayangkan, itu kepala ayam busuk kok dijual,” ujarnya setengah geram.

Meski demikian, Lurah Pasar Ayam Semanggi, Sunyata, menampik adanya transaksi jual-beli ayam mati di dalam pasar. Ayam-ayam yang terbukti mati itu, ujarnya, langsung dibuang dan diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) Putri Cempo. “Enggak berani [jualan ayam mati]. Karena, sudah ada kejadian [pedagang] yang ditangkap polisi gara-gara menjual ayam mati,” ujarnya.

Pernyataan tersebut, bertolak belakang dengan kesaksian Sukarno. Pembeli ayam sehat ini justru mengaku kerap menyaksikan transaksi jual-beli ayam mati di dalam pasar. Para pengepul ayam mati itu, katanya, akan bersiaga di pasar begitu ayam-ayam diturunkan dari kendaraan. “Hla wong jelas-jelas kasat mata begitu kok ya didiamkan. Itu kan membahayakan kesehatan masyarakat,” terang warga Sudiroprajan ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya