SOLOPOS.COM - Potret Pattimura Pahlawan Nasional asal Maluku (bpip.go.id)

Solopos.com, JAKARTA–Jika Anda pernah berpergian menggunakan pesawat udara menuju kota Ambon di Maluku, maka Anda akan mendarat ke sebuah bandara yang dikenal sebagai Pattimura International Airport. Tapi tahukah Anda? Dari mana nama Pattimura diambil?

Melansir dari kemdikbud.go.id, Jumat (4/11/2022), Pattimura merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Maluku. Pattimura lahir dengan nama Thomas Matulessy di Haria, Saparua, Maluku Tengah, 8 Juni 1783.

Promosi Harga Saham Masih Undervalued, BRI Lakukan Buyback

Ia merupakan putra dari pasangan Frans Matulessy,dan Fransina Silahoi. Dikutip dari p2k.unkris.ac.id, diceritakan bahwa keluarga Pattimura merupakan keturunan bangsawan asal Nusa Ina (Seram).

Perjalanan hidup Pattimura pernah mengantarkannya berkarier di dunia militer. Masih dilansir dari kemdikbud.go.id, Pattimura pernah menjadi sersan Militer Inggris. Ia kemudian semakin dikenal ketika menjadi pemimpin rakyat Maluku dalam perlawanannya melawan Belanda melalui sebuah pertempuran.

Menurut sejarah, telah terjadi berbagai perlawanan bersenjata di Indonesia melawan Belanda (VOC) sejak abad ke-17 dan ke-18. Hal tersebut disebabkan oleh praktik Kolonialisme Belanda yang melakukan monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja paksa dan lain sebagainya.

Kekejaman Belanda tersebut berdampak ke berbagai lini kehidupan masyarakat baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan psikis.

Sekian lamanya rakyat Maluku harus mengalami perpecahan hingga berdampak pada kemiskinan. Bagaimana tidak? Meskipun mereka memproduksi hasil bumi berupa cengkeh dan pala untuk kebutuhan pasar dunia, namun tak sedikitpun keuntungan didapatkan.

Bukannya keuntungan, mereka justru harus merasakan penderitaan yang disebabkan oleh ngawurnya kebijakan yang diciptakan pada masa itu. Diantaranya adalah pemungutan pajak yang besar berupa penyerahan wajib atau disebut verplichte leverantien dan contingenten.

Selain itu, rakyat Maluku harus dibatasi dengan blockade ekonomi yang membuat mereka terisolasi dari pedagang-pedagang lain di Indonesia. Padahal jika memiliki akses, hal tersebut dapat menjadi pendapatan yang besar bagi mereka.

Pada masa sekitar tahun 1810 sampai dengan 1817 harus berakhir pada tanggal 25 Maret 1817 usai Belanda mengambil alih wilayah Maluku. Kedatangan Belanda ditolak oleh rakyat Maluku dengan dibuatnya Proklamasi Haria yang disusun oleh Pattimura dan juga  Keberatan Hatawano.

Pemerintah Belanda menguasai Maluku dengan memaksakan kekuasaannya melalui Gubernur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes Rudolf van der Berg. Dari situlah perlawanan rakyat Maluku digencarkan.

Musyawarah pun diadakan dengan keputusan menunjuk Pattimura sebagai kapten besar yang bertugas memimpin perjuangan rakyat Maluku. Pengukuhan Pattimura dilakukan pada 7 Mei 1817 pada rapat umum di Baileu negeri Haria dengan upacara adat.

Usai pelantikannya sebagai Kapitan Besar, Pattimura memilih beberapa orang yang dianggap memiliki jiwa ksatria untuk membantunya. Diantaranya Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya, Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, serta Paulus Tiahahu.

Pergerakan dimulai dengan penyerbuan Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano ke Benteng Duurtstede. Dengan semangat juang dan persatuannya, Benteng Duurtstede berhasil dilumpuhkan oleh Pattimura.

Keberhasilannya menggulingkan Benteng Duurtstede ternyata terdengar luas oleh pemerintah Belanda hingga membuat mereka kelabakan.

Kemudian kelompok militer Belanda di bawah pimpinan Mayor Beetjes diutus untuk pergi ke Saparua oleh Gubernur Ban Middelkoop dan Komisaris Engelhard. Mereka melakukan sebuah ekspedisi yang kemudian disebut dengan Ekspedisi Beetjes.

Mendengar berita tersebut, Pattimura lantas segera mengatur strategi untuk bertempur. Sejumlah 1.000 pasukan dikerahkan untuk menjaga pertahanan di sepanjang pesisir Teluk Haria hingga Teluk Saparua. Tak sia-sia, perjuangan mereka membuahkan hasil dengan kalahnya Beetjes beserta bala tentaranya.

Kemudian, sebuah rapat besar diadakan di Haria untuk menyatukan tekad dan semangat dalam berjuang melawan Belanda.

Agenda ini kemudian dikenal dengan Proklamasi Portho Haria yang memiliki 14 pasal yang disetujui dan ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari Pulau Saparua dan nusalaut.

Lalu, pada 4 Juli 1817 Overste de Groot memimpin sebuah armada menuju Saparua. Tak lepas dari serangan, seluruh bagian wilayah Hatawano dihancurkan. Berbagai serangan dengan bermacam cara dilakukan untuk memporak-porandakan Maluku.

Hingga akhirnya Pattimura dan Philips Latumahina disergap dan ditangkap oleh Letnan Pietersen pada 11 November 1817. Tak sampai di situ, para tokoh yang lainnya juga menjadi sasaran. Mereka semua harus merelakan perjuangannya dan gugur di tangan Belanda pada 16 Desember 1817, di Kota Ambon.

Atas seluruh perjuangan dan jasa yang dikeluarkan oleh seorang Kapitan Pattimura, Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Bahkan nama Pattimura diabadikan di banyak tempat. Yang paling mudah ditemui, potretnya diabadikan dalam pecahan uang Rp1.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya