SOLOPOS.COM - Ilustrasi STNK. (Hyundai)

Solopos.com, JAKARTA — Advokat yang menggugat aturan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) yang tak berlaku selamanya dan harus diperpanjang menyebut beleid legal itu bertentangan dengan UUD 1945.

Arifin menyebut Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ merugikan hak konstitusionalnya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ menyatakan, “berlaku selama 5 (lima) tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun tersebut tidak ada dasar hukumnya”. 

Kasus konkret yang dialami adalah apabila STNKB dan TNKB diganti baru, maka kendaraan harus dihadirkan di kantor SAMSAT. 

Hal ini berakibat sepeda motor yang dimiliki Arifin yang berada di Surabaya, maka sepeda motor tersebut harus dibawa ke Madiun.

Aturan tersebut, sambung Arifin, tidak jelas dasar hukumnya yang berarti hal tersebut bertentangan dengan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Pasal tersebut berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

“Seandainya STNKB dan TNKB tersebut berlaku selamanya seperti sebelum Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1984 maka tidak perlu repot-repot membawa sepeda motor tersebut dari Madiun ke Surabaya,” terang Arifin dalam sidang uji materi aturan masa berlaku STNKB dan TNKB di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (11/5/2023), mengutip laman resmi MK.

Arifin pun mengusulkan agar STNKB dan TNKB berlaku selamanya seperti sebelum Indonesia merdeka hingga 1984.

Hal ini, lanjutnya, untuk mencegah pemalsuan dan pemborosan terhadap STNKB dan TNKB. 

Oleh karena itu, Arifin dalam petitumnya, meminta MK untuk menyatakan frasa “berlaku selama 5 tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun” dalam Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar Arifin memperbaiki sistematika permohonan. 

Ia menilai permohonan harus disesuaikan dengan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021 (PMK 2/2021).

“Jadi, kalau mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tentang perbuatan melawan hukum, gugatan cerai di Pengadilan Agama itu semua yang diperiksa oleh hakim adalah pijakannya gugatan atau permohonan di MK,” ucap Suhartoyo.

Ia melanjutkan, “Oleh karena permohonan atau gugatan itu adalah pijakan dari pada hakim untuk memeriksa dan kemudian bisa dan tidaknya perkara ini kemudian secara substansial dipertimbangkan oleh hakim sehingga hakim bisa memutus apakah mengabulkan atau menolak itu dasarnya adalah gugatan atau permohonan yang memang memenuhi syarat-syarat formil.”

“Syarat formil itu ya bapak sudah terangkan disini kewenangan MK. Nah itu bisa memenuhi syarat formil itu. Bapak menjelaskan Pasal 24 kemudian Pasal 24C, Pasal 10 UUD MK. Sebaiknya nanti format permohonan diperbaiki, estetika permohonan juga perlu diperhatikan,” ujar Suhartoyo.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk memperjelas argumentasi permohonan terkait pengujian Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ. 

Kemudian, ia juga meminta pemohon untuk melihat kembali putusan-putusan MK terkait pengujian pasal serupa yang telah diputus oleh MK sebelumnya.

“Kasih sedikit uraian alasan mengajukan permohonan dan ada atau tidak hubungan sebab akibatnya,” terang Enny.

Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.

Selambatnya permohonan harus diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada Selasa (23/5/2023) pukul 13.30 WIB.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya