SOLOPOS.COM - ilustrasi (dok Solopos)

ilustrasi (dok Solopos)

Solo (Solopos.com)–Asosiasi Perusahaan dan Praktisi Periklanan Solo (Asppro) mempersoalkan munculnya baliho liar di sejumlah titik Kota Solo.

Promosi Digitalisasi Mainkan Peran Penting Mendorong Kemajuan UMKM

Kemunculan baliho liar tersebut sangat ironis di tengah hilangnya pendapatan gara-gara sejumlah reklame yang laku di tahun 2010 kini tak laku, senilai lebih dari Rp 400 juta.

Ketua Divisi Penataan Outdoor Asppro, Ginda Ferachtriawan, mengatakan munculnya baliho liar sangat disayangkan di tengah tidak lakunya 22 baliho dari 38 baliho yang dilelang Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, belum lama ini.

Baliho dikatakan liar karena dibangun di titik-titik di luar lelang, yang selama ini tak pernah dimunculkan. Biasanya baliho liar tersebut muncul bersamaan dengan event khusus yang dihelat kalangan swasta.

“Belum lama, kami lihat baliho di Pasar Klewer dari salah satu perbankan. Berdiri di dekat gapura depan Pasar Klewer. Ini tidak dilelang. Mengapa harus memunculkan baliho baru yang liar, sementara ada 22 baliho yang tidak laku? Ini bukan yang pertama, sebelumnya pun ada” kata Ginda, saat dijumpai Espos, di ruang kerjanya, Rabu (17/8/2011).

Menurut dia, akan lebih optimal jika Pemkot Solo berupaya mengoreksi ketentuan mengenai 22 baliho yang saat ini tidak laku, daripada mencoba menumpuk pendapatan dari baliho liar yang kontribusinya kecil. Ginda menjelaskan, tahun ini Pemkot kehilangan lebih dari Rp 400 juta pendapatan dari lelang reklame gara-gara ngotot memasang reklame dengan tarif tinggi.

Di antara baliho yang tak laku berada di kawasan Manahan, dengan harga dasar penawaran antara Rp 33 juta-Rp 54 juta/titik. Dia memahami jika biro iklan pilih tidak ikut lelang sebab harga dasar yang ditawarkan Pemkot terlalu tinggi.

Secara bisnis, hak mengelola baliho setahun tidak setera dibandingkan pendapatan yang diperoleh biro iklan pemenang lelang. “Misalnya menang lelang dengan harga Rp 50 juta selama setahun, sementara harga yang dibayarkan pemilik produk kepada biro iklan hanya antara Rp 5 juta-Rp 7,5 juta/bulan. Ditambah biaya kontruksi dan lain-lain, dalam setahun belum tentu bisa BEP (break event pointred). Pemkot harus mau koreksi,” tandasnya.

Hal senada diakui salah satu biro iklan peserta lelang, yang juga pengurus Asppro, Yoyok Aryoseno. Yoyok mengungkapkan pada lelang baliho belum lama ini, dia memenangkan tiga titik baliho. Dari tiga titik tersebut, dua di antaranya didapatkan tanpa pesaing. Menurut dia, hal ini menunjukkan mekanisme lelang tidak berjalan baik. Yoyok sendari mengaku bertahan menjadi peserta lelang demi mempertahankan klien.

“Mekanisme lelang tidak berjalan baik, karena apa? Semestinya ini menjadi koreksi. Kalau harga dasar titik lelang masuk akal, pasti peminatnya akan banyak. Ini bukan soal titik yang tak laku lalu dihapus.”

Ginda dan Yoyok, sama-sama berpendapat jika reklame Kota Solo dapat dikelola dengan aturan dan mekanisme yang benar, pendapatan dari sektor ini bisa ditingkatkan. Bahkan, keduanya sepakat, pendapatan bisa terdongkrak sampai dua kali lipat, dari Rp 4,5 miliar menjadi Rp 9 miliar, jika pengelolaan berjalan baik. Terkait hal itu, Ginda mendorong segera digelarnya audiensi antara Asppro dan DPRD Solo. “Akan kami sampaikan di hadapan DPRD, apa yang salah dengan pengelolaan reklame kota,” pungkas Ginda.

(tsa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya