SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Prum Anan Vannak, 33, duduk dan tersenyum dalam gubuk kayunya yang seukuran satu kamar tidur. Salah satu sudut dinding dipenuhi berbagai gambar.

Ia duduk lalu mulai menggambar. Satu perahu nelayan dengan beberapa lelaki yang membawa barang-barang berat. Salah satu laki-laki dalam gambar itu adalah Vannak.

Promosi Video Uang Hilang Rp400 Juta, BRI: Uang Diambil Sendiri oleh Nasabah pada 2018

Vannak dari Kamboja mengira ia bakal menghasilkan banyak uang setelah bekerja di kapal ikan Thailand. Nyatanya, ia malah dipukuli, disiksa, kelaparan dan tidak mendapatkan upah sepeser pun.

Ia adalah salah satu dari sekitar 100.000 orang Kamboja dan Burma yang dijual ke dalam perbudakan industri pemancingan Thailand setiap tahun.

Thailand adalah salah satu pengekspor ikan terbesar di dunia, tapi mereka sangat kekurangan nelayan. Alhasil, para pedagang manusia berupaya mengatasi kekurangan itu.

Vannak kini berupaya mendidik masyarakat soal perdagangan manusia, lewat kesenian. Baru-baru ini Amerika Serikat menjulukinya sebagai salah satu pahlawan anti-perdagangan manusia.

Enam tahun lalu, setelah gagal mendapatkan pekerjaan di desanya, ia meninggalkan istrinya yang masih mengandung, lalu pergi menuju perbatasan Thailand dan Kamboja. Di sana ia bertemu dengan supir taksi yang menawarkan dia upah sekitar 290.000 rupiah sebulan untuk satu pekerjaan di Thailand. Ia tidak diberi tahu apa yang bakal dikerjakan di sana.

Vannak berpikir dia hanya akan bekerja selama dua bulan, lalu bisa pulang lagi. Namun kenyataan tak sesuai harapan.

“Saya disuruh duduk dan tidur di dalam bak mobil pick up bersama tujuh orang lainnya. Tempatnya kecil sekali,” jelas Vannak.

“Mereka menutupi kami dengan kain hitam. Kami ganti mobil tiga atau empat kali sebelum sampai di tempat tujuan di malam hari. Saya dikunci di dalam kamar semalaman, lalu disuruh naik perahu nelayan paginya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya dipaksa duduk dalam kotak yang tertutup di perahu. Setelah delapan hari di laut, saya dibebaskan, dan yang saya bisa lihat hanyalah lautan.”

Vannak dijual bersama dengan 13 orang lainnya kepada kapten dari kapal Thailand. Selama tiga tahun berikutnya mereka bekerja di sana– 20 jam sehari, dengan sedikit makanan dan tanpa upah.

“Mereka memukuli dan menendang kami seperti binatang. Kadang mereka menggunakan es balok untuk memukul saya di kepala, Mereka memanggil kami dengan kata-kata yang kasar dan kami sudah biasa dibilang ‘kamu gila!’,” kenang Vannak.

“Saya bahkan melihat kepala seorang laki-laki dipenggal lalu dibuang ke lautan. Mayatnya mengapung di depan kami. Kehidupan di kapal lebih berbahaya ketimbang apa yang saya bayangkan.”

Ia menggulung lengan kemejanya dan menunjukkan bekas-bekas lukanya. Ada lebih banyak lagi bekas luka di bagian paha dan kakinya.

“Penyiksaan dan pemukulan sudah jadi hal biasa. Tapi saya paling takut dengan lautan. Setiap kali saya lihat badai datang, saya berdoa kepada ibu saya dan Budha supaya kapal kami tidak tenggelam. Saya bakal mati kalau perahu tenggelam.”

Kalau sudah di laut, perahu-perahu nelayan Thailand kerap berlayar hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tak mendarat.

Tapi suatu hari di tahun 2009, kapal itu berlabuh 4 kilometer dari pesisir pantai Malaysia.

Ketika sebagian awak tidur, Vannak bersama pekerja lainnya dari Kamboja lompat ke laut dan berenang.

“Saya ingin ditangkap polisi, supaya mereka bisa menyerahkan saya ke kedutaaan Kamboja dan pulang. Saya tidak ingin tinggal disini dan bekerja di Malaysia. Saya ingin pulang..”

Tapi di kantor polisi, ia malah dijual oleh salah satu petugas ke kebun kelapa sawit. Setelah kerja paksa di kebun itu selama berbulan-bulan, ia ditahan polisi karena berkelahi dengan salah satu rekan kerjanya. Lalu, ia berhasil menghubungi LICADHO, satu LSM hak asasi Kamboja.

“Kami akhirnya bisa tahu keberadannya di Malaysia lalu bekerja dengan kelompok lain di luar Kamboja supaya memastikan dia kembali lagi ke Kamboja,”ujar Pilorge Naly, direktur LICHADO.

“Kami bekerja sama dengan beberapa organiasasi internasional seperti ILO dan kedutaan besar Kamboja di Malaysia. Kami sudah melakukan hal ini selama bertahun-tahun. Dan karena kami juga punya beberapa kantor provinsi di Kamboja,a kami bisa membantu dia kembali lagi ke desanya di provinsi Pursat.”

Setelah empat tahun, Vannak akhirnya pulang pada tahun 2010. Awalnya sang istri, Cheng Kun, tidak mau menerimanya.

“Dulu saya menangis dan merasa sangat kehilangan dia. Tapi dia pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa. Saya marah sekali! Waktu dia pertama kali pulang, saya tidak bolehkan dia masuk ke dalam rumah,” ujar Cheng Kun.



“Saya tidak percaya dengan ceritanya. Saya tidak mau terima dia karena sudah pergi selama bertahun-tahun, dan setelah kembali tidak bawa uang sepeser pun! Saya pikir dia punya istri lagi di Thailand dan dia bohong sama saya. Tapi orang tua saya memohon pada saya untuk memaafkannya, dan akhirnya saya menerimanya.”

Setelah pulang kampung Vannak mulai menggambarkan berbagai kejadian mengerikan yang ia pernah alami.

LICAHDO menggunakan gambar-gambar karya Vannak sebagai bagian dari kampanye anti – perdagangan manusia – pameran yang terakhir diadakan Juni lalu.

Manfred Hornung, penasehat hukum kelompok ini, mengatakan sebagai orang Kamboja, Vannak tahu caranya mengungkapkan sesuatu lewat seni, “ Dan dia sudah menjalani apa yang dia gambar – ini bukan berdasarkan cerita orang lain. Jadi ini adalah perpaduan paling bagus untuk bercerita kepada orang Kamboja soal bahayanya perdagangan manusia, lewat seni.”

Pilorge Naly sangat mengagumi karya Vannak. “Kalau Anda perhatikan karyanya, dalam setiap gambar ada begitu banyak detil yang bercerita soal apa yang terjadi sama di masa lalu. Ini menarik sekali. Setiap kali saya lihat salah satu gambarnya, saya selalu melihat sesuatu yang baru yang belum saya lihat sebelumnya.”

Saat ini Vannak sedang memberikan sentuhan akhir pada gambar yang ia baru buat. Gambar itu menunjukkan kehidupan sehari-harinya di atas perahu nelayan.

“Saya tidak bisa menghentikan orang pindah ke luar negeri, tapi saya hanya bisa menasehati mereka. Anda harus siap dan cari tahu seperti apa kondisi kerjanya, apakah itu pekerjaan yang resmi atau tidak. Menurut saya bekerja dan tinggal di negeri sendiri lebih baik ketimbang pindah ke luar negeri. Saya juga ingin pemerintah menindak para calo pekerja gelap khususnya mereka yang bekerja di perbatasan..”

Khortieth Him
Asia Calling/ Provinsi Pursat, Kamboja Utara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya