SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Kehidupan karyawan Freeport dan keluarga mereka di Papua kini bak antiklimaks. Mereka dihantui kedatangan “truk eksekutor”.

Solopos.com, MIMIKA — Puluhan tahun bercokol di tanah Papua, PT Freeport Indonesia menjadi tempat mencari nafkah bagi ribuan karyawan. Kini, perusahaan tambah asal Amerika Serikat itu memilih merumahkan mereka setelah menolak status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan tetap menginginkan kontrak karya.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Masa muda saya, saya habiskan di sini. Sekarang saya harus pergi,” kata Nia, Rabu (1/3/2017). Waktu 21 tahun tidak sebentar bagi dirinya menetap bersama keluarga di sana. Besok, Nia harus angkat kaki dari rumah yang telah ditempatinya sejak 1996 di Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Papua.

Nia yang kini berusia 46 tahun itu merupakan istri salah satu karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI), Ananta Pratikno, yang dirumahkan akibat terhentinya ekspor menyusul sengketa kontrak karya itu. Sejak menerima pemberitahuan atas nasibnya pada Kamis pekan lalu, suami Nia beserta keluarga diberi waktu tujuh hari untuk membereskan barang-barang mereka.

“Hari Kamis suami dapat amplop dan dipanggil. Dia tanya alamat di Jakarta. Saya curiga dan telepon sampai tiga kali. Akhirnya dia cerita kalau dia juga kena [dirumahkan],” ujarnya di rumahnya.

Suami Nia sudah berkerja di anak usaha Freeport-McMoRan Inc itu sejak 1992 di bagian malaria control. Nia melanjutkan salah satu cobaan terberat datang saat hendak memberitahukan kondisi tersebut kepada anak-anaknya, khususnya si bungsu yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar. Sambil menangis, Nia bercerita anaknya memohon agar mereka tidak pindah rumah lantaran banyak teman-temannya di sana.

Kisah lain diceritakan oleh 13 istri karyawan PTFI lainnya. Bedanya, mereka masih pada posisi harap-harap cemas menunggu kepastian nasib suami-suami mereka. Salah seorang ibu yang enggan disebut namanya mengatakan setiap hari ada ketakutan rumah tempat tinggalnya didatangi truk putih pengangkut barang. Mereka menyebutnya truk eksekutor.

Truk tersebut akan datang setelah karyawan menerima surat pemberhentian untuk dirumahkan. Di kalangan karyawan dan keluarganya, surat tersebut biasa disebut surat cinta hasil arisan.

“Kami takut. Kami stres. Bukan hanya kami, anak-anak kami yang pulang sekolah sudah ketakutan kalau lihat banyak mobil parkir atau ada truk itu,” katanya.

Ibu lainnya tak mau kalah bersuara. Dia menceritakan dampak yang mulai terasa ketika banyak kontraktor yang diputus kontraknya atau karyawan yang dirumahkan. Menurutnya, dampak tersebut tidak hanya menghantam keluarga karyawan, namun masyarakat lain yang selama ini memanfaatkan aktivitas PTFI.

“Freeport ini sudah jadi tungku kami. Semua kena dampaknya mulai dari tukang ojek, pedagang nasi, pedagang pasar, sampai kos-kosan,” tuturnya.

Nia dan 13 istri karyawan itu berharap PTFI dan pemerintah Indonesia bisa segera bersepakat. Dengan begitu, kata mereka, kegiatan operasi kembali berjalan normal, begitu pula kehidupan mereka. Tak ada niat untuk menyalahkan pemerintah. Nia dan kawan-kawan mencoba memahami posisi pemerintah yang juga penuh dilema.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya