SOLOPOS.COM - Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (1/3/2017). (JIBI/Solopos/Antara/M Agung Rajasa)

Pengajuan hak angket ke KPK dinilai sebagai intervensi DPR terhadap proses hukum kasus korupsi e-KTP.

Solopos.com, JAKARTA — Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengingatkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan bagian dari eksekutif sehingga bukan bagian dari objek pengawasan oleh DPR sebagai legislatif. Hal itu menanggap[i rencana hak angket terhadap KPK yang digulirkan para politikus Senayan.

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Peneliti PSHK, Miko Susanto Ginting, mengatakan kalau dilihat dalam hubungan kekuasaan eksekutif-legislatif, maka KPK bukan bagian dari kekuasaan eksekutif. “Sementara hak angket adalah instrumen bagi kekuasaan legislatif untuk mengawasi kebijakan eksekutif. KPK adalah lembaga penegak hukum yang berdiri independen dan tidak masuk cabang kekuasaan manapun,” kata Miko di Jakarta, Jumat (21/4/2017).

Dia mengatakan instrumen kontrol bagi KPK muncul dari proses penegakan hukum sendiri, yaitu pengadilan. Hak angket juga ditujukan mempertanyakan kebijakan pemerintah, bukan diciptakan sebagai instrumen penegakan hukum. “Saya cuma bisa bilang bahwa itu [pengguliran hak angket] bentuk intervensi hukum,” katanya.

Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III dan KPK yang digelar hingga Rabu (19/4/2017) dini hari, sejumlah fraksi menyetujui pengajuan hak angket terhadap KPK digulirkan. Penyebabnya, permintaan anggota Komisi III DPR agar KPK membuka rekaman penyadapan korupsi e-KTP tidak dipenuhi.

“Mohon maaf rekaman tidak bisa kami berikan,” tutur Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, kala itu.

Miko menilai upaya Komisi III DPR untuk mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam Haryani adalah intervensi terhadap proses penegakan hukum. Upaya itu juga bentuk penggiringan proses penegakan hukum ke dalam proses politik.

“Komisi III seharusnya memahami bahwa pemeriksaan terhadap Miryam Haryani berlangsung dalam rangka penegakan hukum. Kontrol terhadap hal itu seharusnya dilakukan oleh mekanisme hukum dalam hal ini pengadilan dan bukan Komisi III,” kata Miko.

Dia mengharapkan DPR dapat tidak mengusik proses penegakan hukum. Proses yang berjalan cukup pengadilan yang bertindak secara independen untuk mengkonfirmasi isi BAP. “Komisi III DPR tidak perlu bertindak selayaknya pengadilan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya