SOLOPOS.COM - Petugas kesehatan melakukan tes usap (swab test) PCR di Jakarta, Senin (25/10/2021). (Suara.com)

Solopos.com, JAKARTA — Sejumlah anggota DPR RI menuding aturan wajib tes PCR untuk penerbangan dan akan diberlakukan semua moda transportasi itu sarat muatan bisnis ketimbang kesehatan.

Pemerintah mengeluarkan aturan perihal syarat wajib tes PCR untuk pelaku perjalanan jarak jauh melalui Surat Edaran No.21/2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Anggota DPR RI Fraksi PKS, Sukamta, menyebut kebijakan itu aneh. “Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya,” kata Sukamta kepada wartawan, seperti dilansir Suara.com, Jumat (29/10/2021).

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

Baca Juga : Harta Karun Kerajaan Sriwijaya Ditemukan, Harganya Miliaran

Sukamta mengutip data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Nilai impor PCR kit hingga Sabtu (23/10/2021) mencapai Rp2,27 triliun. Nilai itu melonjak drastis mencapai lebih dari empat kali lipat apabila dibandingkan dengan nilai impor PCR kit di bulan Juni, hanya Rp523 miliar.

Bahkan, Sukamta menyindir importir bisa menerawang dengan jitu kebutuhan PCR kit akan melonjak. “Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu. Bisa menduga kebutuhan kit PCR meningkat. Padahal bulan lalu pemerintah belum ada kebijakan kewajiban tes PCR,” tutur Sukamta.

Anggota Badan Anggaran DPR RI itu juga memaparkan perhitungan dugaan bisnis di balik mewajibkan tes PCR. Kebutuhan alat tes PCR 100.000-200.000 kit per hari. Kebutuhan mencapai 2,8 juta-5,6 juta kit per bulan. Apabila menggunakan patokan harga tes PCR saat ini Rp300.000 per PCR untuk di Pulau Jawa-Bali maka bisa ditaksir Rp800 milliar sampai Rp1,6 triliun per bulan.

Baca Juga : Berani Mainkan Harga Tes PCR? Siap-Siap Izin Laboratorium Dicabut

“Sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan 45,52 juta tes Covid-19. Total estimasi nilai bisnis tes PCR Covid-19 menembus Rp15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi. Padahal ekonomi sedang lesu,” ungkap dia.

Bisnis Komoditas Kesehatan

Sukamta menuding perusahaan swasta menikmati bisnis tes PCR. Sejumlah perusahaan eksportir yang dimaksud dari China, Korea, Amerika Serikat, dan Jerman. Dia kembali mengutip data, kali ini dari BPS. Impor reagent tes PCR periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kilogram atau setara 4.315 ton. Angka itu setara 516,09 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp7,3 triliun.

Eksportir terbesar dilakukan China dan Korea masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dollar, disusul AS USD 45 juta dollar, dan Jerman USD 33 juta dollar. “Setelah eksportir adalah perusahaan importir swasta dalam negeri,” katanya.

Baca Juga : 10 Berita Terpopuler: Ayo! Dolan ke Desa Conto Wonogiri Sambil Ngopi

Data Bea dan Cukai, lanjut dia, perusahaan swasta menjadi entitas yang mendominasi impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen. Hal senada disampaikan Anggota DPR Fraksi PAN, Guspardi Gaus.

Dia merujuk laporan ICW sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021. Guspardi menyampaikan keuntungan bisnis PCR menggiurkan. Penyedia jasa layanan pemeriksaan PCR setidaknya mendapatkan keuntungan Rp10,46 triliun atau lebih dari Rp1 triliun setiap bulan.

“Kesan yang timbul di masyarakat bahwa pemerintah pro pengusaha yang mempunyai bisnis tes usap PCR ketimbang rakyat. Wajar juga masyarakat menduga telah terjadi permainan dengan menjadikan komoditas kesehatan sebagai ladang bisnis menguntungkan kelompok tertentu,” kata Guspardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya