SOLOPOS.COM - Elanto Wijoyono menghadapi pengendara moge yang dianggap arogan (Youtube.com)

Aktivis sepeda adang moge dengan tujuan yang sederhana, “kalau lampu merah mereka harus berhenti,” kata Elanto.

Solopos.com, JOGJA – Aksi menghadang moge oleh aktivis asal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Elanto Wijoyono, banjir simpati dari publik dunia maya (netizen). Namun, pria 32 tahun itu mengaku tak akan melakukan aksi serupa.

Promosi Kecerdasan Buatan Jadi Strategi BRI Humanisasi Layanan Perbankan Digital

Berdasarkan penelusuran Solopos.com, Senin (17/8/2015), Elanto atau yang lebih akrab disapa Kang Joyo merupakan aktivis lingkungan di Yogyakarta. Mengadang konvoi moge yang dikawal polisi 15 Agustus 2015 lalu rupanya bukan aksi nekat pertamanya.

Dalam akun Youtube miliknya, Elanto juga pernah melakukan aksi serupa pada acara Jogja Bike Rendezvous (JBR) 2014. Kala itu bahkan konvoi moge lebih “angker” karena dikawal oleh Polisi Militer. Pria kelahiran Sleman 32 tahun lalu itu juga tak jarang menggelar aksi sweeping untuk mengingatkan para pengguna sepeda motor yang merampas hak pejalan kaki, yakni menerobos trotoar.

Aksi heroik ini diakui Elanto sebagai tindakan yang tak pantas. Di laman Rappler, Elianto mengungkapkan pemikirannya soal kejadian pencegatan itu.

Melalui tulisan Famega Syavira Putri, Elanto sendiri mengaku bahwa tindakannya tersebut sebenarnya tak pantas dilakukan asal aparat tak berlindung di belakang peraturan karet. Berikut kutipan dari pernyataan Elianto Wijoyono:

“Target saya sederhana, kalau lampu merah mereka harus berhenti. Setelah beberapa kali lampu merah, polisi lalu lintas mau menuruti dan mengatur sesuai lampu.

Pesan sederhananya adalah, ini memang nampak sepele, cuma soal lampu merah dan soal pengawalan. Tapi kita bicara soal prinsip hukum, ada aturan, tapi sudah tidak ditegakkan. Apalagi pelakunya termasuk aparat kepolisian, walaupun mereka bisa berlindung di balik pasal karet. Saya sendiri berpikir ini tak pantas, seharusnya warga tak perlu sejauh ini ketika aparat bisa berfungsi.”

Semua yang terjadi di ruang kota dan wilayah saling terkait, termasuk semua yang terjadi di ruang publik dan di jalan raya. Konvoi ini pun sebenarnya berhak memakai jalan, karena semua orang berhak membuat kegiatan. Tapi tentu saja aktivitas itu tidak boleh menganggu orang lain.

Di situlah perizinan, pengawasan dan sanksi seharusnya berperan dalam tata kelola pemerintahan wilayah. Tapi yang kita lihat khususnya di Jogja, yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan prinsip yang ada di aturan dan hukum.

Konvoi ini masih akan ada sampai Senin, tapi saya tak merasa perlu melakukan pencegatan lagi. Saya ingin melihat apakah aparat berfungsi. Kalau tidak, keterlaluan sekali jika aparat baru melakukan fungsinya setelah ada tekanan warga.

Siapa yang harus mengawal itu semua? Dalam dunia yang ideal, harapan ada di wakil rakyat. Tapi kita tahu, kita tak bisa mengandalkan mereka. Justru mereka jadi bagian dari masalah itu sendiri. Maka solusinya adalah gerakan warga.

Saya yakin sebenarnya warga sudah pernah bertindak di lokasi lain. Memang tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa bertindak ketika melihat sesuatu yang salah. Bukan soal berani tak berani, tapi mungkin tak semua orang bisa atau punya kesempatan bertindak.

Warga sebagai sesama masyarakat harus bisa saling mengingatkan. Tidak ada orang yang bisa 100 persen benar. Ukuran selalu relatif sehingga komunikasi antar masyarakat selalu diperlukan.

Dalam jangka panjang, saya sebagai warga Jogja ingin ikut membangun modal sosial Jogja, membantu menyambung antar inisiatif. Siapapun bisa melakukan itu, siapapun bisa melanjutkan. Tentu saja itu harus rutin dan harus bergulir terus, entah sampai kapan, mungkin selamanya.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya