SOLOPOS.COM - Ilustrasi pasangan suami istri menunjukkan buku nikah. (JIBI/Solopos/Antara)

Solopos.com, SOLO — Tradisi memberi amplop kepada penghulu dipicu pelanggaran sistem. Upaya untuk mencegahnya hanya dengan perubahan sistem, termasuk menaikkan biaya nikah. Demikian dikatakan Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Irjen Kemenag), M. Jasin, dalam dialog interaktif di sebuah televisi swasta, Senin (16/12/2013), kala membahas gratifikasi di Kantor Urusan Agama (KUA).

Sistem yang bermasalah itu, kata Jasin, ialah tak adanya ketentuan tentang pernikahan di luar KUA. Hal inilah yang kemudian menjadi pembenar para penghulu menerima gratifikasi dari masyarakat.

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

Jasin lalu menawarkan sejumlah solusi untuk membenahi kesalahan sistem ini. Pertama, Kemenag telah mengajukan usulan anggaran kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk tunjangan transportasi bagi penghulu yang bekerja di luar jam dan hari kerja.

Kedua, menambah biaya operasional KUA yang selama ini terlalu minim. “Ini meniscayakan ada rasionalisasi [peningkatan] biaya pencatatan nikah, bukan lagi Rp30.000 seperti saat ini,” kata dia.

Menurut hitungan awal yang ia lakukan, biaya nikah idealnya Rp300.000-Rp500.000. Dengan biaya itu penghulu bisa mendapatkan tunjangan transportasi, biaya akomodasi, operasional KUA, dan administrasi lainnya.

”Warga miskin di gratiskan,” kata mantan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Ketiga, menggratiskan biaya nikah bagi semua warga negara seperti dalam pencatatan sipil. Pencatatan nikah adalah hak warga negara yang telah menikah, negara harus memfasilitasinya.

Keempat, mempertahankan budaya yang ada saat ini, namun dengan sistem pengelolaan keuangan KUA yang akuntabel. Anggota Komisi VIII DPR, Ali Maschan Moesa, yang menjadi narasumber lain dalam dialog tersebut memilih solusi terakhir ini.

Menurut dia, tradisi warga Indonesia selama ini ialah memberi. Tradisi itu, menurut dia, tetap harus dipertahankan dengan sistem pengelolaan keuangan yang akuntabel.

“Penghulu adalah tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa-desa. Mereka seorang ulama dan kiai. Saya kurang sependapat jika mereka disebut menerima gratifikasi. Dalam hukum adat kita, memberi itu adalah bentuk kecintaan dan rasa hormat, tanpa bermaksud melanggar aturan,” ujarnya.

Salah seorang calon pengantin asal Karanganyar, Hafidz, menuturkan akibat sistem yang dia nilai tak tersosialisasikan, untuk bisa menikah di luar KUA ia harus membuat surat izin menumpang menikah di pihak keluarga calon istrinya. Biayanya Rp75.000 sesuai penjelasan modin setempat.

”Saya baru tahu ternyata ada lagi istilah menumpang nikah. Kami memang akan menikah di luar KUA dan alamat asal kami berbeda,” kata Hafidz.

Syarat pencatatan nikah memang cukup mengisi formulir N1– N7 yang disediakan KUA. Namun, dalam praktiknya pengurusan itu meniscayakan calon pengantin harus berurusan dengan birokrasi di RT/RW, desa/kelurahan, kecamatan, instansi atasan, dan bahkan hingga ke pengadilan untuk duda atau janda.

Panjangnya birokrasi inilah yang melahirkan profesi baru bernama calo. Sumber Solopos.com menjelaskan rincian biaya untuk pencatatan nikah berkisar Rp300.000 yang meliputi biaya pencatatan nikah Rp35.000, transportasi penghulu Rp50.000, transportasi P3N Rp50.000, biaya jasa terima kasih penghulu dan P3N Rp100.000, serta kas desa dan lain-lainnya Rp65.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya