SOLOPOS.COM - Ilustrasi wisuda lulusan perguruan tinggi (JIBI/Solopos/Dok)

Solopos.com, SOLO—Kebutuhan industri dan keluaran lulusan perguruan tinggi masih berjarak lantaran keduanya tidak saling bertemu.

Perlu ada link and match atau keselarasan antara industri dan perguruan tinggi. Berbagai upaya bisa dilakukan agar gap antara industri dan perguruan tinggi tidak semakin melebar.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Dekan Fakultas Teknik UNS Solo, Sholihin As’ad menyebut salah satu cara memperkecil gap itu yakni support pendanaan dari industri untuk melakukan riset. Topik riset yang dilakukan bisa berangkat dari permasalahan yang terjadi di industri tertentu.

Support pendanaan bisa saling mendukung. Itu malah lebih bagus, jadi tidak membebani kampus saja. Jadi pendanaan riset itu tidak hanya dari kampus saja. Apalagi industri butuh inovasi dari riset yang dilakukan perguruan tinggi,” kata dia kepada Solopos.com, belum lama ini.

Selain itu program magang untuk dosen juga bisa menjadi salah satu cara. Dengan begitu, dosen punya pengalaman dan tahu persis permasalah yang ada di industri. Setelah itu diharapkan apa yang ditemui di lapangan bisa menjadi bahan ajar di kelas.

“Kita juga ada program untuk mengirim dosen magang ke industri. Jadi kita menggali informasi, apa yang sebenarnya industri butuhkan. Dosen dikirim ke industri untuk membaca persoalan teknis yang ada di sana untuk ikut menyelesaikan,” kata dia. 

Dia mengatakan jangan sampai dosen yang juga melakukan riset tidak sejalan dengan industri. Sebab sudah seharusnya perguruan tinggi turut ambil bagian menjawab tantangan yang dihadapi industri.

“Karena kita tidak mau cuma riset baca buku, kemudian industri ngejar pasar. Lalu satu sama lain tidak ketemu. Padahal harusnya [perguruan tinggi] bisa masuk untuk menyelesaikan tantangan itu ya,” kata dia.

Meski begitu, bukan berarti program dan riset yang ada perguruan tinggi didikte oleh industri. Dirinya menambahkan tetap ada ruang berpikir kritis. Terlebih peran yang diambil akademisi adalah menyelesaikan masalah lewat riset yang dilakukan.

“Jadi kampus tetap punya ruang untuk riset. Kami tetap ingin pemikiran-pemikiran kritis itu  tumbuh,” kata dia.

Wakil Dekan Bidang Perencanaan, Kerja Sama, Bisnis, dan Informasi SV UNS, Herman Saputro mengatakan lewat Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), perguruan tinggi diberi kelulusan untuk kolaborasi dengan industri.

“Artinya kita membuat sesuatu untuk hal-hal yang bermanfaat untuk kedua belah pihak, baik untuk industri atau kampus,” kata dia.

Selain itu ada beberapa program sebagai upaya selaras dengan industri, salah satunya adalah magang atau internship program. 

“Kami sadar kalau dari segi teknologi tidak akan bisa mengejar industri, caranya bagaimana, caranya kita memfasilitasi mahasiswa untuk magang industri. Itu menjadi salah satu cara memperkecil gap antara industri dan pendidikan,” kata dia.

Selain itu, bisa juga dengan program mengirim dosen sebagai praktisi di industri. Apalagi pihaknya saat ini memiliki dosen dengan kualitas lulusan minimal S2. Sedangkan industri akan mengeluarkan banyak biaya jika mengirim karyawannya kuliah.

“Industri merasa terbantu, karena kalau mereka investasi SDM jatuhnya mahal, ngirim SDM sekolah ke luar negeri kan mahal. Sehingga, programnya ada dosen sebagai praktisi di industri,” kata dia.

Lalu program pendanaan seperti matching fund untuk keperluan pengembangan riset dan produk juga bisa menjadi salah satu cara menyelaraskan kebutuhan kampus dan industri.

“Itu dana yang diberi oleh pemerintah ketika ada sekelompok peneliti atau pengembang inovasi bekerja sama dengan industri,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya