SOLOPOS.COM - Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Achsanul Qosasi (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai ditetapkan tersangka di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (3/11/2023). Achsanul Qosasi ditahan Kejagung setelah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek menara base transceiver station (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan dugaan menerima aliran dana sebesar Rp40 miliar. ANTARA FOTO/Raqilla/gp/rwa.

Solopos.com, JAKARTA — Keterlibatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, dalam dugaan kasus korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G Kominfo dinilai bukti lembaga negara tersebut tercemari politik.

Achsanul Qosasi adalah mantan Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat dan Wakil Ketua Komisi XI DPR.

Promosi 796.000 Agen BRILink Siap Layani Kebutuhan Perbankan Nasabah saat Libur Lebaran

Achsanul yang juga bos klub Liga 1 Madura United diduga menerima dana sebesar Rp40 miliar terkait dengan kewenangannya sebagai anggota BPK yang melakukan audit terhadap proyek BTS.

Pengamat politik kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Vishnu Juwono menyebut penetapan Achsanul sebagai tersangka menggambarkan adanya upaya pelemahan lembaga yang seharusnya menjadi pilar penting dalam melakukan audit keuangan negara, yakni BPK.

Ia menyoroti independensi BPK sebagai lembaga negara yang seharusnya bebas dari intervensi politik, terlebih lagi korupsi.

Apalagi, pemilihan anggota BPK melibatkan proses seleksi dari Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kasus korupsi ini, lanjut Vishnu, menandakan politisasi di BPK telah mengakibatkan pelemahan dalam upaya pemberantasan korupsi di lembaga ini.

Vishnu mengekspresikan keprihatinannya terhadap kondisi ini karena BPK memegang peranan penting dalam mengungkap kasus korupsi melalui fungsi audit investigasinya.

Vishnu menyoroti kasus korupsi di BPK ini bukan pertama kali.

Pada tahun 2020 terdapat dugaan kasus penyuapan melibatkan Riza Djalil, mantan Ketua BPK yang juga mantan politisi PAN.

Dengan upaya melemahkan fungsi audit yang dilakukan oleh BPK oleh elite partai politik, menurut dia, mengisyaratkan BPK berpotensi sebagai alat pemerasan dari pimpinannya terhadap kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah.

Vishnu menegaskan BPK yang mempunyai otoritas dalam menentukan status laporan keuangan negara, masuk dalam kategori wajar dengan persyaratan (WDP) atau wajar tanpa persyaratan (WTP).

Pengamat politik kebijakan publik memandang perlu mengembalikan fungsi BPK kepada tujuan asalnya sebagai lembaga audit negara yang independen.

Ia menekankan pentingnya pemilihan pemimpin BPK yang independen secara politik, berkompeten baik dari sisi keilmuan maupun pengalaman di bidang audit keuangan, terutama dalam sektor publik.

Kasus Achsanul, kata dia, menjadi peringatan bahwa perlunya perbaikan mendalam dalam menjaga independensi BPK.

Peristiwa ini juga menekankan urgensi untuk mengembalikan fokus BPK pada tujuan utamanya, yaitu memberantas korupsi melalui fungsi audit keuangan negara yang transparan dan independen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya